Seorang dosen IPB (Institut Pertanian Bogor) pernah cerita bahwa kampus IPB di Baranangsiang, Kota Bogor, dulunya tidak menggunakan pendingin udara (Air Conditioner, AC) karena udara di Bogor saat itu cukup sejuk. Tapi karena suhu udara semakin panas akibat perubahan iklim, maka saat ini semua ruangan kampus terpaksa pasang AC.
Pemasangan alat pendingin udara merupakan salah satu bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim. Masalahnya, tidak semua orang memiliki kemampuan finansial untuk membeli dan memasang AC di rumah mereka. Ini tentu saja menimbulkan isu ketidakadilan sosial dimana banyak orang yang menanggung akibat dari perubahan iklim, padahal mereka tidak banyak menghasilkan gas rumah kaca dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itu pemerintah di berbagai kota di dunia memperluas ruang terbuka hijau untuk menurunkan suhu udara. Sebuah studi di Munich, Jerman, menunjukan bahwa pada skala area perumahan, peningkatan 10% ruang terbuka hijau berkontribusi menurunkan suhu sebesar 1 derajat dalam radius 100 meter. Di sisi lain, ruang terbuka hijau juga berkontribusi dalam mengurangi risiko banjir dengan memfasilitasi resapan air dan membatasi aliran air permukaan (IUCN, 2019).
Pemasangan alat pendingin udara di gedung-gedung dan perluasan ruang terbuka hijau di berbagai kota merupakan bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim.
Perubahan iklim secara umum ditangani melalui 2 jalur, yaitu jalur mitigasi dan jalur adaptasi. Mitigasi perubahan iklim fokus pada upaya untuk mengurangi penyebab dari perubahan iklim, yaitu tingginya emisi gas rumah kaca di atmosfer. Gas rumah kaca ini berasal dari pembakaran bahar bakar fosil, limbah padat, dan kayu, serta deforestasi, degradasi lahan, dan kebakaran hutan. Ringkasnya, upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca merupakan ranah mitigasi perubahan iklim.
Sementara adaptasi perubahan iklim terpusat pada upaya menangani dampak dari perubahan iklim, seperti semakin sering terjadinya banjir, angin topan, kekeringan, dan kebakaran hutan. Perubahan iklim juga berdampak pada produksi pertanian, hasil tangkapan ikan, penyebaran penyakit, kerusakan infrastruktur, migrasi penduduk, dan kepunahan spesies. Selain itu, tenggelamnya pulau yang terletak di perbatasan antar negara berpotensi menciptakan konflik antar negara.
Dampak dari perubahan iklim telah dirasakan oleh masyarakat dunia saat ini, sehingga langkah adaptasi mendesak untuk dilakukan saat ini juga.
UNFCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) secara formal mendefinisikan adaptasi perubahan iklim sebagai proses penyesuaian (adjustments) dalam sistem ekologi, sosial, atau ekonomi dalam merespon dampak dari perubahan iklim. Tidak ada satu solusi untuk semua (There is no ‘one-size-fits-all-solution’) dalam adaptasi perubahan iklim sebab setiap negara memiliki keunikannya masing-masing. Karena itu UNFCC menyerahkan kepada semua negara dalam mengembangkan strategi adaptasi perubahan iklim.
Ada dua hal penting dalam strategi adaptasi perubahan iklim, yaitu mengurangi potensi kerusakan dan mengambil ‘manfaat’ dari peluang perubahan iklim. Sebagian besar negara, termasuk Indonesia, lebih menekankan pada upaya mengurangi potensi kerusakan dalam strategi adaptasi perubahan iklim. Sementara mengambil ‘manfaat’ dari peluang perubahan iklim masih belum banyak menjadi perhatian.
Pada dokumen NDC (Nationally Determined Contribution) pertama Indonesia tahun 2016, disebutkan bahwa tujuan jangka menengah dari strategi adaptasi perubahan iklim di Indonesia adalah untuk ‘menurunkan risiko’ pada semua sektor pembangunan (pertanian, sumber daya air, ketahanan energi, kehutanan, maritim dan perikanan, kesehatan, pelayanan publik, infrastruktur, dan sistem perkotaan) pada tahun 2030 melalui penguatan kapasitas lokal, pengelolaan pengetahuan yang meningkat, kebijakan yang konvergen tentang adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana, dan penerapan teknologi yang adaptif.
Demikian juga pada dokumen Updated NDC Indonesia tahun 2021 yang menyebutkan bahwa tujuan dari adaptasi perubahan iklim Indonesia adalah untuk mengurangi risiko, meningkatkan kapasitas adaptif, memperkuat ketahanan dan mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim di semua sektor pembangunan. Dokumen ini menunjukan adanya multi-tujuan dari strategi adaptasi perubahan iklim, namun masih belum menyatakan bagaimana mengambil ‘manfaat’ dari perubahan iklim.
Hal yang hampir sama terdapat pada dokumen Indonesia Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (Indonesia LTS-LCCR 2050) yang dipublikasikan tahun 2021. Dokumen ini menyebutkan bahwa jalur adaptasi menetapkan tujuan untuk mengurangi dampak perubahan iklim terhadap hilangnya PDB nasional sebesar 3,45% pada tahun 2050 melalui peningkatan ketahanan pada empat kebutuhan dasar (pangan, air, energi, dan kesehatan lingkungan) dengan tiga bidang sasaran ketahanan, yaitu ekonomi, sosial dan mata pencaharian, ekosistem dan lanskap.
Ketiga dokumen penting diatas yang menjadi acuan kebijakan dan program adaptasi perubahan iklim masih fokus pada menurunkan risiko, mengurangi risiko, atau mengurangi dampak dari perubahan iklim. Sementara sisi lain dari adaptasi perubahan, yaitu memanfaatkan peluang dari perubahan iklim, belum dinyatakan dengan tegas.
Narasi untuk mengambil ‘manfaat’ dari perubahan iklim memang terkesan tidak bermoral dan bisa dianggap ‘memancing di air keruh’. Hal ini karena menempatkan bencana perubahan iklim sebagai peluang yang mesti dimanfaatkan.
Tapi pada kenyataannya, Komisi Eropa telah mengidentifikasi manfaat yang bisa diperoleh dari bencana perubahan iklim, seperti menciptakan lapangan kerja baru yang ramah lingkungan (green jobs), peningkatan daya saing, peningkatkan pertumbuhan ekonomi hijau, udara yang lebih bersih dengan sistem publik transportasi yang lebih efisien, pengembangan teknologi baru, dan lebih amannya suplai energi dan sumber daya lainnya. Komisi Eropa juga mencatat lebih dari 4 juta pekerjaan di berbagai bidang terkait perubahan iklim, seperti pengendalian polusi, pengolahan limbah, energi terbarukan, dan daur ulang.
Nature-based Solutions (NbS)
Salah satu konsep dalam melakukan adaptasi perubahan iklim adalah Nature-based Solutions atau yang dikenal dengan singkatan NbS. Konsep ini diusulkan oleh IUCN tahun 2009 pada pertemuan COP 15 UNFCCC di Kopenhagen, Denmark. Selanjutnya peran NbS diakui dalam Paris Agreement yang disepakati pada COP 21 tahun 2015 di Paris, Prancis. NbS memang terkait erat dengan perubahan iklim dan keanekaragaman hayati.
Menurut IUCN (2019), lebih dari 80% dari proses ekologi dipengaruhi oleh perubahan iklim, sementara hampir 40% dari mitigasi perubahan iklim diperlukan untuk memenuhi target 2°C Paris disediakan oleh NbS. Di sisi lain, ekosistem berperan besar dalam membantu masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Dengan demikian, NbS dapat berperan bukan hanya dalam mitigasi, tapi juga dalam adaptasi perubahan iklim.
Sebelum awal tahun 2000-an, NbS hanya dipertimbangkan dalam konteks mitigasi perubahan iklim. Namun dewasa ini, menurut UNEP (2020), peran NbS dalam adaptasi juga sangat penting karena efektivitas sebagian besar tindakan adaptasi pada dasarnya tergantung penyediaan jasa ekosistem.
Definisi formal dari NbS adalah tindakan untuk melindungi, mengelola, dan memulihkan ekosistem alami atau ekosistem termodifikasi secara berkelanjutan dalam rangka menghadapi tantangan masyarakat yang dilakukan secara efektif dan adaptif, sambil memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan keanekaragaman hayati (IUCN, 2016). Tantangan masyarakat yang dimaksud, selain perubahan iklim, adalah resiko bencana, kesehatan masyarakat, ketahanan pangan, ketahanan air, atau pembangunan sosial ekonomi yang berkelanjutan.
Dalam implementasinya, NbS meliputi pendekatan yang sudah ada sebelumnya, seperti restorasi ekologi, rekayasa ekologi, infrastruktur hijau, infrastruktur alam, adaptasi berbasis ekosistem (Ecosystem-based Adaptation – EbA), mitigasi berbasis ekosistem (Ecosystem-based Mitigation – EbM), atau pengurangan risiko bencana berbasis ekosistem.
NbS harus memenuhi dua kriteria utama, yaitu: 1) Berkontribusi langsung pada tantangan sosial, selain konservasi keanekaragaman hayati; dan 2) Mengandalkan ekosistem dan menghasilkan manfaat untuk keanekaragaman hayati.
Kalau solusi yang ditawarkan hanya karena terinspirasi oleh alam atau menggunakan sumber daya alam tanpa memperhatikan konservasi ekosistem dan tanpa manfaat bagi keanekaragaman hayati, maka solusi tersebut tidak termasuk dalam kriteria NbS. Sebagai contoh, penggunaan sumber daya alam untuk produksi energi terbarukan tanpa manfaat langsung bagi keanekaragaman hayati tidak akan dipertimbangkan sebagai NbS. Dengan demikian, penggunaan kayu bakar sebagai sumber energi dengan mengorbankan fungsi ekosistem hutan dan keanekaragaman hayati hutan bukan merupakan NbS.
Penerapan NbS sudah dilakukan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Di Brebes, misalnya, masyarakat lokal mengalami tantangan berupa abrasi pantai akibat maraknya penebangan mangrove untuk dijadikan tambak udang. Namun sayangnya, tambak-tambak tersebut terbengkalai akibat pengelolaannya dilakukan secara tidak berkelanjutan.
Masyarakat lokal, dengan dukungan pemerintah dan Yayasan KEHATI, kemudian berhasil melakukan rehabilitasi mangrove dan kawasan hasil rehabilitasi tersebut dijadikan kawasan ekowisata mangrove yang terkenal. Program ini masu kategori NbS karena mampu menangani tantangan masyarakat berupa abrasi pantai, sekaligus memulihkan ekosistem mangrove dan mendapat manfaat ekonomi dari ekowisata mangrove.
Penerapan konsep NbS juga dilakukan di Pulau Flores melalui program pangan lokal sorgum. Masyarakat lokal mengalami gagal panen (bahkan gagal tanam) untuk komoditas padi karena semakin panjangnya musim kemarau akibat perubahan iklim. Dengan dukungan pemerintah dan Yayasan KEHATI, masyarakat lokal mengganti komoditas padi yang butuh banyak air dengan komoditas sorgum yang tidak memerlukan banyak air. Sorgum adalah tanaman pertanian yang cocok untuk lahan kering seperti di Flores.
Pergantian komoditas ini membuat petani bisa menanam dan memanen sorgum secara reguler dengan biaya yang sangat minim karena tidak perlu biaya irigasi untuk pengairan, pupuk kimia, pestisida, dan input pertanian lainnya. Program pangan lokal sorgum masuk kategori NbS karena mampu menangani tantangan sosial berupa gagal panen padi, sekaligus memberi manfaat ekonomi dan ekologis.