Pandemi Covid-19 berdaya rusak tinggi terhadap pelbagai sektor ekonomi global, termasuk keuangan, perdagangan, industri, pariwisata, dan sebagainya. Pertanyaannya, bagaimana dengan sektor perikanan?

Pemerintah di berbagai negara menerapkan kebijakan lockdown dengan level yang berbeda untuk meredam Covid-19.  Tapi kebijakan yang umum diambil adalah membatasi bisnis yang menyebabkan terjadinya kerumunan orang, seperti bisnis perhotelan, pariwisata, hiburan, dan restoran.  Sayangnya, sektor bisnis ini merupakan pangsa pasar utama komoditas ikan segar (fresh fish).

Bloomber melaporkan bahwa permintaan dan harga ikan segar di Asia, pasar terbesar ikan segar dunia, mengalami collapse.  Hal yang sama terjadi di Spanyol dimana industri ikan segar berhenti total.  Para nelayan akhirnya membekukan semua hasil tangkapannya sambil menunggu hotel dan restoran kembali buka dan permintaan ikan segar kembali normal.

Kebijakan lockdown juga mendorong masyarakat enggan keluar rumah jika tidak ada keperluan mendesak.  Mereka melakukan karantina rumah. Namun demikian, masyarakat melakukan aksi borong bahan makanan (panic buying) selama masa karantina.  Khusus produk perikanan, mereka menumpuk ikan beku, ikan kaleng, dan ikan kemasan lainnya. Bukan ikan segar. Aksi ini memicu naiknya permintaan dan harga ikan kemasan, sekaligus merusak sistem rantai pasok industri perikanan.

Kegiatan utama dalam rantai pasok industri perikanan adalah operasi penangkapan ikan.  Bagi armada penangkapan ikan skala besar, mereka membutuhkan awak kapal dalam jumlah yang tidak sedikit. Masalahnya, para awak kapal mengalami kesulitan bekerja ketika diwajibkan mengenakan masker.  Apalagi jika diharuskan jaga jarak dengan awak kapal lainnya.  Kewajiban menggunakan masker dan jaga jarak ini, sebagai cara untuk menghindari terjadinya penularan Covid-19, menjadi disinsentif bagi awak kapal perikanan untuk pergi melaut. 

Di sisi lain, dukungan pemerintah dalam bentuk bantuan langsung bagi masyarakat yang terdampak Covid-19 menjadi insentif bagi mereka untuk tinggal di rumah (stay at home). Nelayan juga memilih tinggal di rumah karena kuatir terjangkit Covid-19 ketika sedang melaut. 

Dengan demikian, awak kapal perikanan skala besar lebih memilih untuk tinggal di rumah ketimbang ikut operasi penangkapan ikan di laut.  Hal yang berbeda terjadi bagi nelayan subsisten dan kecil di negara berkembang yang tidak memperoleh dukungan pemerintah jika tidak melaut.  Mereka umumnya melaut tidak jauh dari pantai, melaut hanya satu-dua hari, dan memiliki jaring sosial yang cukup kuat di desa pesisir.  Hasil tangkapan mereka sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Berkurangnya awak kapal penangkapan ikan membuat pengusaha perikanan skala besar kesulitan menjalankan armada penangkapan ikan.  Kondisi ini diperburuk dengan ketersediaan logistik penangkapan ikan yang ikut terpengaruh oleh pandemi Covid-19. Beberapa industri pendukung untuk memenuhi kebutuhan logistik penangkapan ikan berhenti beroperasi akibat kebijakan lockdown.  Di Wuhan (China), misalnya, semua pabrik tutup selama lebih dari 3 bulan sejak diterapkannya kebijakan lockdown.  Hal yang sama terjadi di negara-negara yang menerapkan kebijakan total lockdown.  Tutupnya industri penunjang perikanan tangkap, tak pelak mengganggu operasi penangkapan ikan.

Dengan situasi tersebut, banyak pengusaha perikanan terpaksa menyandarkan kapalnya di pelabuhan perikanan.  Tidak melaut.  Di Spanyol, setengah dari armada perikanan tangkapnya harus sandar di pelabuhan perikanan.  Spanyol sendiri merupakan negara yang memiliki armada perikanan tangkap terbesar di Eropa.

Gangguan yang terjadi pada operasi penangkapan ikan dengan sendirinya menghambat suplai bahan baku untuk industri pengolahan ikan yang memproduksi ikan kemasan, seperti ikan beku, ikan kaleng, dan lain-lain.  Kalaupun industri ini memperoleh bahan baku ikan, mereka mesti menghadapi masalah lainnya terkait distribusi. Banyak negara mengambil kebijakan menutup perbatasan, bandara, dan pelabuhan dalam rangka memutus mata rantai penyebaran Covid-19.  Jika pun dibuka, biaya transportasi meningkat drastis.

Padahal permintaan dan harga ikan kemasan mengalami peningkatan selama wabah Covid-19.  FAO, misalnya, melaporkan bahwa saat ini di pasar Eropa sedang terjadi peningkatan permintaan untuk ikan kaleng makarel dan sarden.  Hal yang sama terjadi untuk ikan cakalang (skipjack tuna) dan madidihang (yellowfin tuna).

Ringkasnya, pandemi Covid-19 menyebabkan berkurangnya armada penangkapan ikan dunia yang melakukan operasi penangkapan ikan, meningkatnya permintaan ikan kemasan, dan menurunnya permintaan produk ikan segar untuk suplai hotel dan restoran.

Dampak Positif

Covid-19 telah menyebabkan terjadinya penurunan operasi penangkapan ikan di laut yang bisa berdampak positif bagi ekosistem laut.  Hal yang sama pernah terjadi selama perang dunia I dan II dimana hasil suatu penelitian menunjukan terjadinya pemulihan stok ikan secara signifikan.  Dampak dari Covid-19 mungkin tidak sesignifikan perang dunia dimana kegiatan penangkapan ikan berhenti selama 3-5 tahun. 

Meskipun bukti pemulihan ekosistem akibat Covid-19 masih bersifat anekdotal, namun telah terlihat peningkatan kehadiran mamalia laut (paus orca, lumba-lumba, dan anjing laut) di kawasan-kawasan yang sebelumnya tidak tercatat kehadirannya. Hal tersebut disampaikan oleh Carlos Duarte, ketua Pusat Penelitian Laut Merah, yang berkonsorsium dengan peneliti dari UK, Kanada, Spanyol, dan Saudi Arabia.

Namun perlu digarisbawahi, penurunan operasi penangkapan ikan akibat Covid-19 sejalan dengan melemahnya upaya pengelolaan perikanan oleh pemerintah, seperti kegiatan patroli laut.  Beberapa negara dilaporkan telah mengurangi kegiatan patroli lautnya karena pandemi ini.  Dan melemahnya patroli laut biasanya dimanfaatkan oleh nelayan nakal untuk melakukan kegiatan IUUF (Illegal, Unreported, Unregulated Fishing).  Untungnya aparat pengawasan perikanan Indonesia tetap beroperasi selama pandemi. Kapal patroli KKP bahkan telah menangkap 5 kapal asing ilegal selama pandemi Covid-19 yang berasal dari Filipina (3 kapal) dan Vietnam (2 kapal).  Mereka menangkap ikan  secara ilegal di Laut Natuna dan Laut Sulawesi. Bravo KKP!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *