Bumi pernah mengalami lima kali kepunahan massal jutaan tahun yang lalu.  Penyebab utama kepunahan massal tersebut adalah karena faktor alam, seperti hujan meteor, banjir besar, gerakan lempeng, dan gempa bumi.

Saat ini bumi ditengarai tengah mengalami proses kepunahan massal keenam.  IPBES (The Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services) tahun 2019 melaporkan bahwa lebih dari satu juta spesies bumi terancam mengalami kepunahan. Bedanya dengan lima kepunahan massal sebelumnya, kepunahan massal keenam disebabkan oleh ulah manusia.

IPBES (2019) juga megidentifikasi beberapa penyebab langsung dari kepunahan spesies, yaitu perubahan penggunaan lahan, eksploitasi langsung, perubahan iklim, pencemaran, dan invasi spesies asing. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa kepunahan spesies disebabkan oleh kegiatan ekonomi.

Dengan gambaran tersebut, maka pendekatan ekonomi menjadi penting, baik dalam menganalisis penyebab maupun solusi yang ditawarkan untuk mencegah terjadinya kepunahan massal.  Beberapa pakar bahkan menyebutkan bahwa kita sebenarnya tidak mengelola keanekaragaman hayati atau lingkungan, tapi yang kita kelola adalah manusia yang memiliki kemampuan eksploitasi dengan skala besar.

Salah satu teori ekonomi yang sering menjadi rujukan pengambil kebijakan adalah Kurva Lingkungan Kuznets  (Environtmental Kuznets Curve), yaitu kurva yang berbentuk U terbalik (inverted U-shaped) dimana garis horisontal menunjukan pendapatan per kapita dan garis vertikal adalah kerusakan lingkungan.  

Kurva ini pada awalnya digunakan oleh ekonom Simon Kuznet pada tahun 1950an untuk melihat hubungan antara pendapatan per kapita dengan ketimpangan pendapatan.  Pada tahun 1990an, Kurva Kuznet digunakan oleh Grossman dan Krueger untuk mengkaji hubungan antara ekonomi dengan berbagai indikator lingkungan, termasuk emisi karbon dioksida. Kurva Kuznet semakin populer ketika Bank Dunia mengeluarkan World Development Report 1992 yang menyebutkan penerapan Kurva Kuznet (Stern, 2004). 

Kurva Kuznet menjelaskan bahwa pendapatan per kapita pada awalnya akan meningkat seiring dengan meningkatnya kerusakan lingkungan hingga mencapai suatu titik balik (turning point).  Setelah itu, kerusakan lingkungan mengalami perbaikan dengan semakin meningkatnya pendapatan per kapita.

Artinya, teori ini menekankan bahwa kerusakan lingkungan tidak bisa terelakkan dalam pembangunan ekonomi, sehingga pilihan kebijakan adalah dahulukan ekonomi (economy first).  Sementara urusan kerusakan lingkungan diurus belakangan.

Sebenarnya masih banyak pertanyaan dan perdebatan terkait teori Kuznet ini, seperti pada level pendapatan per kapita berapa ketika terjadi titik balik? Berapa lama hingga sampai di titik balik? Seberapa parah kerusakan lingkungan yang terjadi hingga titik balik? Apakah setelah mencapai titik balik, perbaikan lingkungan akan terjadi secara otomatis?  Dan pertanyan-pertanyaan kritis lainnya.

Sayangnya, meskipun masih terjadi perdebatan pada tataran konsep, teori Kuznet sudah diterapkan secara luas di berbagai negara.  Salah satu dampaknya, seperti disebutkan di awal, adalah terjadinya ancaman kepunahan massal keenam.

Kajian terbaru dalam lingkup global tentang dampak kebijakan ekonomi yang mendahulukan ekonomi dan mengabaikan aspek lingkungan dilakukan oleh ekonom dari Universitas Cambridge, Partha Dasgupta.  Awal tahun 2021, Dasgupta mempublikasikan hasil kajiannya berjudul The Economics of Biodiversity: The Dasgupta Review atau sering disingkat The Dasgupta Review.

Dasgupta Review dianggap sebagai landmark dalam ekonomi keanekaragaman hayati dan menjadi pembahasan di berbagai forum global sejak dipublikasikan.

Menurut Dasgupta, kerusakan biosfir dewasa ini sudah sampai pada titik dimana permintaan terhadap barang dan jasa jauh melampaui kemampuan biosfir memenuhi permintaan tersebut secara berkelanjutan. 

Secara matematik disebutkan bahwa ecological footprint lebih besar dari tingkat regenerasi biosfir.  Ecological footprint yang dimaksud adalah jejak kerusakan ekologi, baik karena eksploitasi alam untuk produksi barang dan jasa, juga limbah hasil produksi dan konsumsi yang dibuang ke alam.  

Berdasarkan kajian tersebut, Dasgupta merekomendasikan opsi-opsi perubahan dalam pembangunan ekonomi, yaitu:

  1. Memastikan bahwa permintaan terhadap alam tidak melebihi kemampuan suplainya dan meningkatkan suplai alam relatif terhadap levelnya saat ini.
  2. Mengubah ukuran keberhasilan ekonomi agar mengarah ke jalur yang lebih berkelanjutan.
  3. Mengubah institusi dan sistem – khususnya sistem keuangan dan pendidikan– untuk memungkinkan perubahan ini dan mempertahankannya untuk generasi mendatang

Hasil kajian ini merupakan alarm agar konsep pembangunan berkelanjutan yang telah disepakati oleh para pemimpin negara dunia tahun 1992 dijalankan secara konsekuen.  Konsep ini menekankan bahwa pembangunan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tidak boleh mengorbankan pemenuhan kebutuhan ekonomi generasi mendatang.

Para pemimpin negara-negara dunia juga menyepakati program Millennium Development Goals (MDGs) dengan 8 goals yang kemudian dilanjutkan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) yang terdiri dari 17 goals. Sebagai tambahan, terdapat juga kesepakatan Paris Climate Agreement untuk memastikan pembangunan ekonomi di semua negara tidak melampaui target emisi gas rumah kaca global.

Selain kesepakatan para pemimpin negara, dunia usaha global juga membuat kesepakatan untuk menjaga keseimbangan antara keuntungan finansial dan pelestarian lingkungan.  

Setidaknya terdapat dua kesepakatan penting dalam dunia usaha, yaitu Equator Principles bagi lembaga keuangan (sebagian besar bank) dan Principles for Responsible Investment (PRI) bagi lembaga investasi.  Kedua kesepakatan ini mendasari komitmennya pada penerapan prinsip-prinsip Environmental, Social, and Government (Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola) atau yang dikenal dengan singkatan ESG.

Equator Principles diinisiasi oleh International Finance Corporation (IFC) pada tahun 2003.  Pada awalnya hanya 10 lembaga keuangan yang mengadopsi Equator Principles, namun seiring berjalanya waktu jumlahnya terus berkembang hingga mencapai 118 lembaga keuangan pada tahun 2021.

Sementara PRI diinisiasi oleh Sekretaris Jenderal PBB Kofi Anan pada tahun 2006.  Lembaga investasi yang berkomitmen menerapkan PRI (signatories) juga mengalami peningkatan yang signifikan, yaitu dari 20 lembaga pada tahun 2006 menjadi hampir 3.750 lembaga tahun 2021.  

Dari Indonesia, Yayasan KEHATI tercatat sebagai salah satu lembaga signatories PRI, terutama karena KEHATI memiliki dana abadi (endowment fund) yang diinvestasikan di beberapa portofolio investasi berbasis ESG.

Asset under Management (AUM) PRI juga meningkat tajam, dari USD 3 triliun tahun 2006 menjadi USD 120 triliun tahun 2021.  Ini merupakan sinyal yang kuat bahwa tengah terjadi tren ‘investasi hijau’ secara global.

Dengan gambaran tersebut, Indonesia mesti mempersiapkan diri menyambut kedatangan investor kelas dunia yang hanya mau berinvestasi di negara-negara yang memiliki komitmen, infrastruktur, dan regulasi yang mendukung bisnis ramah lingkungan.  Bisnis yang mendukung prinsip-prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *