Secara umum, sumber daya alam dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu sumber daya yang tidak dapat pulih (unrenewable resources) dan sumber daya yang dapat pulih (renewable resources).

Sumber daya yang tidak dapat pulih (seperti minyak, batubara, besi, dan tembaga) ketersediannya di alam dalam jumlah yang tetap dan tidak dapat digantikan kecuali melalui waktu geologis yang sangat lama.

Menurut Lackey (2005), perikanam diklasifikasikan sebagai sumber daya dapat pulih sebab ikan menghasilkan surplus biologi secara tahunan, dimana dengan pengelolaan yang baik, dapat dipanen tanpa mengurangi produktifitas masa depan.  Selain itu, kelimpahan spesies ikan bervariasi setiap tahunnya.  Dalam beberapa tahun, ikan mungkin menghasilkan telur yang sangat berlimpah, namun di tahun berikutnya mungkin hanya menghasilkan sedikit telur atau bahkan tidak berproduksi sama sekali.

Kelompok Perikanan

Stok atau populasi ikan ditentukan oleh jumlah kelahiran atau bertambahnya ikan baru dan pertumbuhan ikan.  Karena itu ukuran populasi ikan diukur bukan hanya dari jumlah ikan tapi juga beratnya. Stok atau populasi ikan dapat berkurang karena dua hal utama, yaitu kematian akibat penangkapan oleh manusia dan kematian alamiah karena usia tua, penyakit, dan dimakan ikan lain (Nikijuluw, 2002).

Sumber daya ikan terdiri dari beberapa jenis atau kelompok jenis, seperti pelagis, demersal, dan sedentari.  Ikan-ikan pelagis adalah jenis ikan yang hidup di kolom atas atau permukaan air.  Umumnya, ikan-ikan jenis ini memiliki kemampuan gerak dan mobilitas tinggi.  Ikan-ikan demersal adalah jenis yang biasanya tinggal di dasar perairan dan memiliki kemampuan gerak yang rendah dan tinggi.  Jenis ikan lainnya adalah ikan yang sangat rendah dan lambat mobilitasnya sehingga terkesan menetap atau tinggal di dasar perairan.  Jenis ikan yang terakhir ini dikenal dengan nama ikan sedentari.

Di beberapa negara, seperti Jepang, perikanan laut dibagi atas tiga wilayah pengelolaan, yaitu perikanan lepas pantai (the offshore fishery), perikanan laut lepas (the distant-water fishery), dan perikanan pantai (the coastal fishery).  Perikanan lepas pantai adalah kegiatan perikanan yang berlangsung dalam wilayah perairan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dengan menggunakan kapal-kapal besar yang berukuran diatas 10 GT.  Sementara perikanan laut lepas adalah kegiatan perikanan yang berlangsung di perairan laut lepas (Samudera).

Saad (2003) menguraikan bahwa perikanan pantai adalah perikanan yang berlangsung dalam wilayah perairan teritorial dengan peralatan nelayan relatif kecil (kurang dari 10 GT), dimana kegiatan budidaya termasuk dalam kategori ini.

Menurut UU 31/2004 jo UU 45/2009 tentang Perikanan, definisi nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 GT (Pasal 1 ayat 11).  Sementara menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 (UU 7/2016) tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, Nelayan Kecil adalah nelayan yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang tidak menggunakan kapal penangkap Ikan maupun yang menggunakan kapal penangkap Ikan berukuran paling besar 10 GT (Pasal 1 ayat 4).

Selain nelayan kecil, UU ini juga mendefinisikan nelayan tradisional, yaitu nelayan yang melakukan penangkapan ikan di perairan yang merupakan hak perikanan tradisional yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun sesuai dengan budaya dan kearifan lokal (Pasal 1 ayat 5).

Statistik perikanan menunjukan bahwa lebih dari 90% kapal yang beroperasi di perairan laut Indonesia memiliki ukuran kurang dari 5 GT, disusul kapal dengan ukuran 5-10 GT, 10-30 GT, dan terakhir kapal ukuran lebih dari 30 GT.

Skala Usaha Perikanan

Berdasarkan skala usaha, perikanan dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu perikanan skala besar (komersial/industri) atau large-scale fisheries dan perikanan skala kecil (komersial, artisanal, dan subsisten) atau small-scale fisheries. Perlu dipahami bahwa hampir semua perikanan adalah komersial, bahkan perikanan artisanal yang paling kecil pun menjual kelebihan hasil tangkapan setelah kebutuhan rumah tangganya terpenuhi.

Saat ini sangat sedikit perikanan yang tidak menjual hasil tangkapannya dan umumnya termasuk dalam kategori perikanan subsisten.  Dalam perikanan subsisten, transaksi yang terjadi pada level minimal, tapi ikan-ikan tersebut diperdagangkan atau dibagi diantara anggota yang memiliki pertalian keluarga dan jaringan sosial.  Perikanan seperti ini adalah bagian dari perikanan skala kecil.

Berkes dkk (2001) mengemukakan bahwa perikanan skala besar menggunakan alat penangkapan termekanisasi, kapal penangkapan ikan yang modern, dan sering memiliki alat prosesing ikan diatas kapal.  Perikanan ini menangkap ikan dalam jumlah besar dengan target kelompok spesies berikut: i) Ikan pelagis besar di lautan samudera dan menggunakan alat tangkap surface longlines dan purse seines; ii) Ikan demersal di kawasan produktif continental shelves dan slopes dengan menggunakan trawl dan bottom longlines; iii) Ikan pelagis kecil yang bergerombol, seperti ikan makarel dan clupeoid, di kawasan produktif upwelling dengan menggunakan purse seine atau trawl pelagis; dan iv) Udang di kawasan continental shelves yang dipengaruhi oleh aliran sungai dengan menggunakan trawl.

Perikanan skala besar umumnya memiliki data perikanan yang relatif lengkap sehingga dapat dipahami dengan baik.  Dengan demikian instrumen perikanan umumnya dikembangkan untuk perikanan kategori ini meskipun sering tetap gagal dalam mencegah over-eksploitasi.  Perikanan skala kecil, meskipun belum ada definisi universal, selain melakukan penangkapan ikan terhadap stok ikan yang sama dengan perikanan skala besar  tapi juga menangkap stok ikan yang lebih kecil dengan jumlah yang cukup besar.

Perikanan skala kecil cenderung menargetkan kelompok spesies berikut: i) Ikan demersal di daerah shelf dan slope dengan menggunakan jaring, pancing, dan perangkap ikan; ii) Ikan pelagis besar di daerah pesisir dengan menggunakan trawl atau longline skala kecil; dan iii) Ikan demersal pesisir di daerah shelf dan slope yang tenang dengan menggunakan perangkap ikan, jaring, dan longline, seringkali menangkap ikan yang sama dengan yang ditangkap oleh perikanan trawl skala besar yang beroperasi di lepas pantai namun dengan target umur ikan yang berbeda.

Perikanan tradisional, artisanal, dan subsisten termasuk dalam kategori perikanan skala kecil yang menangkap ikan yang sama dengan yang ditangkap oleh perikanan komersial.  Mereka umumnya menangkap ikan kecil dengan tingkat keragaman yang tinggi dan menggunakan alat tangkap tradisional, seperti jaring ukuran kecil, perangkap ikan, pancing, tombak, dan penangkapan  dengan tangan.

Perikanan tradisional, artisanal, dan subsisten cenderung menargetkan kelompok spesies berikut: i) Ikan dan invertebrata karang dengan menggunakan perangkap ikan, tombak, pancing, dan dengan tangan; ii) Ikan dan invertebrata lagun dan estuaria dengan menggunakan jaring; iii) Perikanan muara sungai dengan menggunakan jaring; dan iv) Ikan-ikan akuarium di semua habitat dengan menggunakan jaring dan bahan beracun.

Hak Kepemilikan

Hak kepemilikan (property right) sumber daya ikan sering merujuk pada rejim milik bersama (common property) dimana tidak ada yang berhak mengklaim kepemilikannya dan kepemilikan hanya berlaku ketika seseorang menangkapnya.   Rejim milik bersama biasa disandingkan dengan slogan “everybody’s property is nobody’s property”.

Dalam kepustakaan yang luas tentang konsep milik bersama, Saad (2003), menguraikan bahwa suatu sumber daya alam disebut milik bersama, jika secara fisik dan hukum dapat digunakan oleh lebih dari seorang pemakai, sehingga sumber daya alam itu dapat dikatakan boleh digunakan oleh siapapun juga berdasarkan prinsip-prinsip persaingan bebas.

Konsekuensi dari rejim milik bersama digambarkan dengan sangat baik oleh Hardin (1968) dalam artikelnya yang terkenal the Trategy of the Commons.  Dalam artikel tersebut diilustrasikan sebuah padang rumput tempat para penggembala menggembalakan ternaknya.  Sebagai makhluk yang rasional, setiap penggembala berpikir untuk memaksimalkan keuntungan dengan cara menambah jumlah ternak.

Sayangnya, kesimpulan tersebut adalah kesimpulan dari setiap penggembala sehingga jumlah ternak yang ditambahkan melebihi kapasitas padang rumput yang merupakan common property.  Akibatnya terjadi tragedy of the commons.

Tragedi ini juga terjadi dalam dunia perikanan dimana orang menangkap ikan sebanyak-sebanyaknya dan secepat-cepatnya, sebelum orang lain melakukannya.  Dengan pikiran tersebut, maka yang terjadi di laut adalah terlalu banyak kapal menangkap ikan yang sebenarnya sudah sangat sedikit (too many boats too few fish).

Christy (1982) mengidentifikasi beberapa dampak negatif dari common propery, yaitu kecenderungan untuk membuang sumber daya secara fisik sebab nelayan tidak mempunyai insentif untuk mengendalikan tangkapan ikan untuk kepentingan masa depan.  Stok ikan yang disisakan di laut untuk hari esok akan diambil oleh orang lain hari ini. Dengan demikian, stok ikan cenderung akan dimanfaatkan pada level yang melampaui level Maximum Sustainable Yield (MSY).

Common Property juga menghasilkan dampak negatif dalam bentuk pemborosan ekonomi (economic waste) dimana dengan ketiadaan kontrol terhadap modal dan tenaga kerja akan berimplikasi pada tingginya upaya penangkapan terhadap stok ikan yang jumlahnya sedikit.  Dalam perikanan yang over-utilized, jumlah ikan yang dapat ditangkap jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah nelayan dan kapal yang beroperasi di laut.

Dalam perikanan common property, rente ekonomi bisa menghilang sebab kapan pun rente tersebut muncul akan menghasilkan surplus keuntungan bagi nelayan.  Karena akses perikanan bersifat bebas dan terbuka, maka surplus keuntungan tersebut akan menarik lebih banyak nelayan untuk menangkap ikan.  Akan tetapi, nelayan baru akan meningkatkan total biaya penangkapan tanpa meningkatnya total pendapatan dari hasil tangkapan.   Total nelayan baru akan berhenti hanya ketika total biaya mencapai atau sama dengan total pendapatan.  Tapi pada saat itu, rente ekonomi akan menghilang.

Konsekuensi lain dari common property adalah terjadinya konflik.  Konflik ini terjadi antar nelayan yang menggunakan alat tangkap yang berbeda untuk target ikan yang sama seperti konflik antara nelayan skala besar dengan nelayan skala kecil.  Konflik juga bisa terjadi antar nelayan yang menggunakan alat tangkap yang berbeda untuk ikan target yang berbeda namun menangkap di lokasi yang sama, seperti antara nelayan yang menggunkan trawl bergerak (mobile trawl) dengan nelayan yang menggunakan jaring tetap (fixed nets).

Satu-satunya kemungkinan dampak positif dari perikanan common preperty adalah kesempatan kerja pada situasi dimana alternatif kesempatan lainnya jarang atau tidak eksis.  Tapi ini merupakan benefit yang sifatnya berjangka pendek sebab dalam jangka panjang lebih banyak menghasilkan kerusakan.

***

Cuplikan buku: Potret Kebijakan Kelautan dan Perikanan

http://nulisbuku.com/books/view_book/9213/potret-kebijakan-kelautan-dan-perikanan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *