Oksigen yang kita hirup setiap detiknya adalah hasil dari proses fotosintesis yang dilakukan oleh tetumbuhan.  Dalam proses ini tumbuhan mengubah karbon dioksida (CO2) dan air (H2O) dengan bantuan cahaya matahari menjadi oksigen (O2) dan glukosa (C6H12O6).  Glukosa  merupakan sumber energi bagi tumbuhan itu sendiri, maupun bagi hewan dan manusia.  Artinya tanpa disadari keanekaragaman hayati selama ini menyedian oksigen secara gratis setiap detiknya agar manusia dan makhluk lainnya bisa hidup.  Tanpa oksigen manusia tidak bisa hidup.

Makanan yang kita santap setiap hari berasal dari hewan dan tumbuhan, baik berupa nasi, ikan, daging, telur, sayuran, buah-buahan, roti, mie, pisang goreng, maupun bentuk makanan lainnya.  Kehilangan keanekaragaman hayati berarti kehilangan sumber pangan yang juga menjadi sumber kehidupan manusia dan makhluk lainnya.

Konon Albert Einsten pernah menyatakan bahwa kalau lebah menghilang dari permukaan bumi, maka manusia hanya punya sisa waktu hidup 4 tahun. Sebenarnya masih jadi perdebatan apakah Einstein pernah menyampaikan pernyatan tersebut. Tapi logikanya, jika tidak ada lebah, maka tak ada lagi proses penyerbukan yang diperlukan tumbuhan. Dengan tidak adanya proses penyerbukan, maka tumbuhan akan punah. Jika tak ada tumbuhan, maka hewan herbivora akan kehilangan sumber makanan. Dampak lanjutannnya adalah hewan kernivora akan kehilangan sumber makanan. Dan jika tak ada tumbuhan dan hewan (herbivora dan karnivora), maka manusia akan punah.

Air yang kita minum setiap saat merupakan hasil dari siklus hidrologi dimana hutan memiliki peran yang signifikan.  Bersama proses evaporasi di lautan dan badan air lainnya, hutan melakukan proses transpirasi yang mengangkat air dari akar dan melepasnya melalui daun untuk membentuk uap air di atmosfir dan selanjutnya menjadi hujan.  Pada saat hujan turun ke bumi, akar-akar pohon melakukan proses infiltrasi agar air masuk ke dalam tanah.  Kehilangan keanekaragaman hayati dapat mengganggu siklus air yang merupakan sumber kehidupan manusia dan makhluk lainnya.

Kondisi kesehatan yang selama ini kita nikmati karena ada peran satwa liar yang berperan sebagai inang bagi virus-virus penyebab penyakit.  Satwa liar tidak terganggu dengan keberadaan virus-virus ini di tubuh mereka.  Tapi karena mereka terus diburu, habitatnya dirusak, bahkan dikonsumsi oleh manusia, maka terjadi proses zoonosis, yaitu perpindahan virus dari tubuh satwa liar ke tubuh manusia.  Masalahnya, keberadaan virus tidak kompatibel dengan tubuh manusia, sehingga terjadi simbiosa parasitisme dimana virus diuntungkan tapi tubuh manusia dirugikan.  Beberapa contoh penyakit yang diakibatkan oleh zonosis virus ini adalah Covid-19, HIV/AIDS, ebola, flu burung, dan sebagainya.  Kerusakan keanekaragaman hayati menyebabkan munculnya penyakit bagi manusia yang bahkan bisa sangat mematikan seperti dengan terjadinya pandemi Covid-19 sejak awal tahun 2020.

Obat-obatan yang kita konsumsi saat sakit sebagian besar bersumber dari keanekaragaman hayati, baik yang dihasilkan secara tradisional maupun hasil produksi industri farmasi modern.  Dewasa ini industri bioprospecting mengalami perkembangan yang cukup pesat dengan nilai ekonomi diperkirakan mencapai USD USD 500 milyar per tahun.  Kepunahan keanekaragaman hayati berarti kehilangan sumber obat-obatan untuk mengatasi berbagai penyakit.

Gambaran diatas menunjukan beberapa peran vital keanekaragaman hayati bagi manusia, selain jasa ekosistem lainnya seperti keindahan alam, penyerap karbon, penyerbukan tanaman, dan sebagainya.  Dengan kata lain, seperti kata Mahatma Gandhi, bumi ini sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia, tapi tidak akan pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan segelintir manusia yang serakah.

Terminologi keanekaragaman hayati sendiri pada awalnya hanya mencakup keragaman spesies, namun dalam perkembangannya meliputi genetik dan ekosistem.  Conventions on Biological Diversity (1992) mendefinisikan keanekaragaman hayati sebagai berikut: the variability among living organisms from all sources including, inter alia, terrestrial, marine and other aquatic ecosystems and the ecological complexes of which they are part; this includes diversity within species, between species and of ecosystems.  

Dengan demikian, terdapat 3 level keanekaragaman hayati, yaitu level ekosistem, level spesies, dan level genetik.  Namun dalam percakapan sehari-hari banyak kalangan yang mengidentikkan biodiversitas hanya sebatas pada spesies kharismatik terancam punah, seperti badak, gajah, harimau, orangutan, penyu, hiu, atau paus.

Bagi Indonesia, keanekaragaman hayati merupakan hal penting karena Indonesia dikenal sebagai negara megabiodiversity, yaitu negara yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.  Menurut AIPI (2019), gabungan biodiversitas daratan dan kelautan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan biodiversitas terkaya di planet bumi. 

LIPI (2014) mencatat bahwa Indonesia memiliki 30.000 – 40.000 spesies flora (15.5% dari total jumlah flora di dunia), kupu‐kupu 1.900 spesies (10 % dari spesies dunia).  Indonesia juga rumah besar bagi spesies fauna endemik yang terdiri dari 270 spesies mamalia, 386 spesies burung, 328 spesies reptile, 204 spesies amphibia, dan 280 spesies ikan. 

Selain itu, menurut Kanti (2020), Indonesia merupakan tempat tinggal bagi 720 spesies mamalia (13% dari total dunia), 1.605 spesies burung (16% dari total dunia), 385 spesies amfibi (6% dari total dunia), 723 spesies reptil (8% dari total dunia), dan 4.777 spesies ikan (14% dari total dunia

Dari sisi ekosistem, terdapat 74 keragaman ekosistem yang membentuk formasi kompleks, mulai dari ekosistem laut dalam, laut dangkal, pantai, ekositem dataran rendah, hutan pegunungan bawah, hutan pegunungan atas, subalpin hingga alpin (LIPI, 2014). 

Namun sayangnya, kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia dan dunia tengah mengalami ancaman kepunahan massal keenam.  Berbeda dengan lima kepunahan massal sebelumnya yang disebabkan oleh faktor alam, seperti hujan meteor, banjir besar, dan gempa bumi, maka ancaman kepunahan keenam yang saat ini terjadi sangat dipengaruhi oleh aktor manusia.

Di Indonesia, setidaknya terdapat 2 spesies yang tercatat telah mengalami kepunahan, yaitu Harimau Bali (Panthera tigris balica) yang punah sekitar tahun 1940‐an dan Harimau Jawa (Panther tigris sondaica) yang dinyatakan punah pada awal tahun 1970‐an (LIPI, 2014).

The Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services atau IPBES (2019) melaporkan bahwa lebih dari satu juta spesies bumi terancam mengalami kepunahan yang disebabkan ulah manusia melalui perubahan penggunaan lahan, eksploitasi langsung, perubahan iklim, pencemaran, dan invasi spesies asing. 

Ancaman kepunahan massal yang disebabkan oleh manusia menunjukan bahwa peran keanekaragaman hayati yang begitu vital bagi kehidupan belum dipahami dengan baik oleh berbagai lapisan masyarakat.  Pemahaman yang minim ini mendorong orang menganggap remeh, tidak penting, dan menilai rendah keberadaan keanekaragaman hayati.  Selain itu, keserakahan juga membuat orang  melakukan eksploitasi keanekaragaman hayati secara berlebihan tanpa mempertimbangkan keberlanjutannya.  

Kajian Dasgupta (2021) menunjukan bahwa kerusakan biosfir dewasa ini sudah sampai pada titik dimana permintaan terhadap barang dan jasa jauh melampaui kemampuan biosfir memenuhi permintaan tersebut secara berkelanjutan.  Dengan kata lain, ecological footprint sudah melampaui kemampuan bumi untuk melakukan regenerasi.  

Dampak negatif dari kerusakan bumi sebenarnya sudah terlihat nyata, seperti banjir, longsor, pemanasan global dan perubahan iklim, pandemi Covid-19, dan sebagainya.  Fakta-fakta ini mestinya bisa membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya melakukan upaya konservasi keanekaragaman hayati di planet ini.  

Konservasi sendiri merupakan konsep yang cukup lama menjadi perdebatan, namun yang diterima secara luas adalah konsep yang didefinisikan oleh IUCN pada tanggal 6 Maret 1980.  Menurut IUCN, konservasi adalah the management of human use of the biosphere so that it may yield the greatest sustainable benefit to present generations while maintaining its potential to meet the needs and aspirations of future generations.  

Definisi tersebut menunjukan bahwa upaya konservasi keanekaragaman hayati tidak dimaksudkan untuk menghentikan roda ekonomi, melainkan menjalankan aktifitas ekonomi yang selaras dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.  Artinya, selain melakukan upaya pelestarian, konservasi juga mendorong pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.

Pada sektor perikanan, misalnya, nelayan dipersilahkan menangkap ikan sepanjang jumlah tangkapannya tidak melampaui Maximum Sustainable Yield (MSY), tidak menggunakan mata jaring (mesh size) ukuran kecil, tidak melakukan penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing practices) seperti penggunaan bom dan bius ikan, dan tidak menangkap ikan di zona inti kawasan Marine Protected Areas (MPAs).

Sementara pada sektor pertanian, petani didorong untuk melakukan pertanian regeneraif (tidak menggunakan pupuk kimia, pestisida, insektisida, serta minim penggunaan air), pertanian untuk memenuhi pangan lokal, perkebunan dengan sistem agroforestri, dan pertanian yang tidak menyebabkan deforestasi.

Usaha ekonomi lain yang mendukung konservasi keanekaragaman hayati adalah energi terbarukan, ekowisata, konstruksi dengan menggunakan bambu, pemanfaatan atap gedung untuk taman dan panel surya (green roofs), penggunaan trotoar permeable agar air hujan dapat terserap ke dalam tanah, perdagangan karbon untuk restorasi ekosistem, dan lain-lain.

Secara umum dunia usaha dapat terus menjalankan roda ekonomi secara selektif, yaitu dengan menghindari bisnis yang menyebabkan kerusakan ekosistem, kepunahan spesies, peningkatan emisi karbon, dan dampak negatif lainnya.  

Menurut pakar manajemen Michael Porter (1990), dunia bisnis memainkan peran yang sangat penting dalam menangani masalah-masalah lingkungan.  Paradigma lama bahwa bisnis dapat memperoleh keuntungan dengan cara merusak lingkungan mesti berubah menjadi paradigma baru bahwa bisnis dapat memperoleh keuntungan dengan cara memperbaiki lingkungan.  

Agar paradigma baru ini dapat terealisasi, masih menurut Porter, maka ada dua hal yang perlu dilakukan.  Pertama, mengubah cara pikir dunia bisnis dalam melihat dirinya sendiri dan kedua, mengubah cara pikir dunia non-bisnis terhadap dunis bisnis. 

Intinya, perlu ada kolaborasi antar stakeholder dalam memperbaiki planet bumi ini. Karena tidak ada Planet B.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *