Konsep tentang konservasi genetik relatif baru, namun mulai menggeliat dengan adanya sejumlah lokakarya akademis, buku teks, dan jurnal Conservation Genetics yang semuanya dicurahkan untuk pengembangan konservasi genetik.
Dewasa ini kontribusi keragaman genetik dalam memelihara keanekaragaman spesies dan habitat, dan menjaga proses-proses ekosistem fundamental (seperti penyerbukan, dekomposisi, dan kesuburan tanah) telah diakui secara luas oleh komunitas konservasi.
Keragaman genetik juga dinilai sebagai komponen dasar dalam ketahanan ekosistem dan kapasitas spesies dalam beradaptasi terhadap perubahan dan tantangan lingkungan. Selain itu, gen yang berasal dari hasil adaptasi populasi alam liar dapat berkontribusi pada ciri pembawaan sesuai yang diharapkan (seperti toleran terhadap kekeringan dan memiliki daya tahan terhadap penyakit).
Frakham dkk (2002) mengungkapkan bahwa konservasi genetik berkaitan dengan faktor-faktor genetik yang mempengaruhi resiko kepunahan dan rejim pengelolaan genetik diperlukan untuk mengurangi resiko kepunahan tersebut.
Lebih lanjut diuraikan bahwa pemeliharaan keragaman genetik menjadi perhatian utama dalam konservasi genetik sebab spesies menghadapi perubahan lingkungan secara terus-menerus yang disebabkan oleh pemanasan global, polusi, introduksi kompetitor baru, penyakit, hama, parasit, dan sebagainya. Untuk menghadapi perubahan ini, spesies harus berevolusi atau menjadi punah. Dengan demikian, keragaman genetik diperlukan bagi populasi berevolusi untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan.
Dalam konteks perikanan, FAO (2008) menekankan bahwa keragaman genetik berinteraksi dengan beragam lingkungan untuk menghasilkan variasi bentuk, ukuran, karakter, tingkah laku, dan warna yang membuat spesies perairan menjadi sangat bernilai dan menarik. Perbedaan-perbedaan ini ditunjukan dengan beragam warna ikan atau pola skala yang berbeda, sementara perbedaan lainnya ditunjukan dengan pola migrasi atau perilaku reproduksi yang berbeda.
Tanpa adanya keragaman genetik, tidak ada keanekaragaman spesies, tidak ada adaptasi, tidak ada perkawinan, dan tidak ada evolusi. Dengan kata lain, spesies perairan ini akan punah seiring dengan munculnya perubahan iklim dan habitat yang disebabkan oleh alam ataupun manusia.
Gambaran konservasi genetik diatas, termasuk dalam kategori pemanfaatan sumber daya genetik non-komersial, yaitu sumber daya genetik digunakan untuk meningkatkan pengetahuan atau pemahaman tentang alam, dengan aktifitas terbentang dari penelitian taksonomi hingga analisis ekosistem.
Pemanfaatan sumber daya genetik non-komersial biasanya dibagi kedalam taksonomi dan konservasi. Bagi taksonomi, sumber daya genetik merupakan sumber informasi kunci. Penelitian taksonomi menyediakan informasi krusial bagi konservasi lingkungan yang efektif. Sementara berkaitan dengan konservasi, sumber daya genetik merupakan fondasi bagi kehidupan di bumi. Meningkatnya pemahaman terhadap sumber daya genetik dapat meningkatkan upaya konservasi terhadap spesies terancam punah dan komunitas lainnya yang tergantung pada spesies tersebut.
Selain pemanfaatan non-komersial, kategori lainnya adalah pemanfaatan sumber daya genetik untuk pemanfaatan komersial dimana perusahaan-perusahaan menggunakan sumber daya genetik untuk mengembangkan bidang keahlian khusus, seperti enzim, peningkatan gen, atau molekul kecil.
Pemanfaatan komersial sumber daya genetik biasanya dibagi kedalam dua kelompok industri, yaitu industri bioteknologi dan industri perkebunan tanaman hias (ornamental horticulture). Greer dan Harvey (2004) memperkirakan bahwa perdagangan internasional untuk sumber daya genetik dalam industri farmasi mencapai lebih dari US$ 300 milyar per tahun.
Arrieta dkk (2010) melaporkan bahwa sekitar 18.000 produk-produk alam berasal dari 4.800 spesies laut dengan pertumbuhan 4% per tahun. Laporan terakhir yang disampaikan oleh Leal dan Calado (2015) bahkan menunjukan angka yang lebih tinggi lagi, yaitu 23.570 produk-produk alam yang berasal dari organisme laut.
Menurut Arico dan Salpin (2005), rasio potensi pemanfaatan senyawa alam yang bersumber dari material laut lebih tinggi dibandingkan organisme teresterial. Karena itu kemungkinan berhasil secara komersial juga lebih tinggi.
Dampak dari bioteknologi dapat dibandingkan dengan revolusi industri dua abad yang lalu. Kemajuan teknologi dalam mengeksplorasi laut dan kandungan sumberdaya genetiknya telah meningkatkan level penemuan-penemuan baru. Teknologi observasi dan pengambilan sampel di laut dalam, seperti submersibles and remotely operated vehicles (ROVs), telah membuka wilayah-wilayah yang sebelumnya belum tereksplorasi bagi kegiatan penelitian sains.
Lebih lanjut Haond (2011) menjelaskan bahwa progress dalam teknologi kelautan dan molekuler telah memfasilitasi bioprospecting dengan sejumlah paten terkait gen organisme laut dengan pertumbuhan 12% per tahun. Sementara Greer dan Harvey (2004) mengemukakan bahwa manipulasi genetik untuk kehidupan bawah air mewakili lompatan kuantum dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati bagi manusia.
Setiap tahun para peneliti menemukan cara-cara baru dan alasan baru untuk mentransfer gen bukan hanya antar spesies ikan yang berbeda, tapi juga antar organisme dengan relasi yang cukup jauh. Pada kenyataanya, negara-negara berkembang dengan konsentrasi keanakaragaman hayati terkaya merupakan penyedia utama sumber daya genetik dan negara-negara maju sebagai pemilik teknologi maju merupakan pengguna utama.
Kondisi ini menunjukan bahwa diperlukan kerangka kebijakan internasional dan nasional untuk memberikan arahan dalam memperoleh akses terhadap bahan dasar sumber daya genetik di alam, termasuk pengaturan tentang pembagian keuntungan (sharing benefits) dari para pihak.
Protokol Nagoya
Pada awalnya dunia internasional, tepatnya negara-negara maju, beranggapan bahwa sumber daya genetik adalah warisan peradaban manusia (the common heritage of mankind), sehingga siapapun berhak untuk mengambil dan memanfaatkannya secara gratis. Beberapa literatur menyebutkan bahwa the common heritage of mankind ini semacam konsep res communis dalam hukum romawi yang diterapkan pada hukum laut Internasional, dimana konsep ini merujuk ke wilayah bukan milik siapa-siapa (belong to no one) yang bisa dimanfaatkan umum.
Secara umum dapat disebutkan bahwa negara maju adalah pemilik teknologi yang mampu memanfaatkan sumber daya genetik untuk kepentingan komersial dan non-kemersial, sementara negara berkembang adalah pemilik kekayaan sumber daya genetik. Dengan memggunakan konsep the common heritage of mankind, negara maju memperoleh keuntungan yang sangat besar sedangkan negara berkembang tidak memperoleh keuntungan apapun.
Kondisi yang dianggap tidak adil ini mendorong diadakannya pembicaraan internasional terkait Access and Benefit Sharing (ABS) atau Akses dan Pembagian Keuntungan antara negara maju dan negara berkembang.
Salah satu kesepakatan internasional dalam pengaturan ABS adalah Pedoman Bonn (Bonn Guidelines on Access to Genetic Resources and Fair and Equitable Sharing of the Benefits Arising out of their Utilization). Draft pertama Pedoman Bonn disepakati pada pertemuan Intergovernmental CBD tahun 2001 di Bonn, Jerman, dan kemudian diadopsi dengan beberapa perubahan pada COP 5 CBD bulan April 2002 di Hague, Belanda.
Pedoman Bonn mengidentifikasi langkah-langkah dalam proses ABS dengan penekanan pada kewajiban pihak pengguna (negara maju) untuk melakukan persetujuan atas dasar informasi awal (prior informed consent) dari penyedia sumber daya genetik. Pedoman ini juga mengidentifikasi persyaratan dasar dalam kesepakatan yang saling menguntungkan dan menentukan hak dan kewajiban utama bagi pihak pengguna dan pihak penyedia, serta menekankan pentingnya keterlibatan semua stakeholder. Pedoman Bonn juga mencakup elemen-elemen lainnya seperti insentif, akuntabilitas, alat verifikasi, dan penyelesaikan sengketa, termasuk daftar indikatif manfaat yang bersifat moneter dan non-moneter.
Meskipun Pedoman Bonn tidak mengikat secara hukum (not legally binding), pada kenyataannya pedoman ini diadopsi dengan suara bulat oleh 180 negara. Pedoman ini kemudian dikuatkan pada KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg pada bulan September 2002 yang menyerukan dilakukannya negosiasi, dalam kerangka CBD, untuk mempromosikan dan melindungi pembagian keuntungan yang adil dan seimbang atas pemanfaatan sumber daya genetik (fair and equitable sharing of the benefits arising from the utilization of genetic resources).
Seruan ini berlandaskan pada 3 pijakan penting, yaitu pembagian keuntungan yang adil dan seimbang dari pemanfaatan sumber daya genetic (tujuan ketiga CBD), kearifan local (Pasal 8 CBD), dan akses terhadap sumber daya genetic (Pasal 15 CBD).
Negosiasi terkait ABS ini berlangsung selama 6 tahun hingga akhirnya Protokol Nagoya diadopsi pada pertemuan COP 10 pada tanggal 29 Oktober 2010 di Nagoya, Jepang.
Tujuan dari Protokol Nagoya adalah pembagian keuntungan yang adil dan seimbang dari pemanfaatan sumber daya genetik, termasuk akses yang tepat terhadap sumber daya genetik dan transfer teknologi yang sesuai, dengan mempertimbangkan semua hak atas sumber daya dan teknologi tersebut, dan dengan pendanaan yang sesuai sehingga memberikan kontribusi bagi konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatan yang berkelanjutan dari komponen-komponennya.
Protokol Nagoya disusun berdasarkan prinsip hukum internasional, yaitu negara mempunyai kedaulatan dan hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya alam sesuai dengan kebijakan lingkungan hidup dan pembangunannya serta mempunyai tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan di dalam yurisdiksi atau pengendaliannya tidak mengakibatkan kerugian bagi lingkungan hidup negara lain atau wilayah di luar batas yurisdiksi negara yang bersangkutan.
Protokol Nagoya hanya mengatur ABS pada zona-zona maritim dibawah yurisdiksi nasional berdasarkan UNCLOS, yaitu perairan pedalaman (internal waters), perairan kepulauan (archipelagic waters) bagi negara kepulauan, laut teritorial (territorial sea), jalur tambahan (contigous zone), zona ekonomi eksklusif (exclusive economic zone), dan landas kontinen (continental shelf).
Sementara zona-zona maritim yang berada di luar yurisdiksi nasional, yaitu laut lepas (high seas) dan kawasan dasar laut internasional (international seabed area), tidak termasuk dalam pengaturan Protokol Nagoya. Kedua zona ini sering disebut sebagai Area Beyond National Jurisdiction (ABNJ) atau wilayah diluar jurisdiksi nasional. Di wilayah ini, sumber daya genetik dianggap sebagai common heritage of humankind dan pengaturannya dengan UNCLOS.
UNCLOS sendiri tidak menggunakan secara spesifik terminologi sumber daya genetik, sehingga beberapa kalangan memasukannya kedalam kategori sumber daya hayati (living resources).
Namun demikian terdapat perdebatan tentang hal ini, seperti dikemukakan Greiber (2011), bahwa menangkap ikan secara substansi berbeda dengan tipikal bioprospecting sebab menangkap ikan bertujuan untuk menangkap sumber daya ikan sebanyak-banyaknya. Sebaliknya, bioprospecting biasanya memiliki tujuan yang berbeda, yaitu mengamankan material tumbuhan, hewan, microbial atau sumber lainnya yang mengandung unit fungsional keturunan, baik yang bernilai aktual maupun potensial. Karena itu bioprospecting lebih tertarik pada kualitas dan perbedaan dari spesies yang dipanen daripada jumlah maksimum tangkapan.
Aturan khusus terkait ABS sumber daya genetik belum dikembangkan dan anggota PBB saat ini masih berdebat tentang instrumen internasional baru tentang konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dari keanekaragaman hayati laut di wilayah ABJN.
Pemerintah Indonesia meratifikasi Protokol Nagoya melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 (UU 11/2013) tentang Pengesahan Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to the Convention on Biological Diversity (Protokol Nagoya Tentang Akses Pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati).
Kebijakan Nasional
Selain UU 11/2013 tentang Ratifikasi Protokol Nagoya, ketentuan terkait pengelolaan sumber daya genetik terdapat juga di UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU 41/1999 tentang Kehutanan, UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU 31/2004 jo UU 45/2009 tentang Perikanan
UU 5/1990 menguraikan 3 sasaran konservasi dimana salah satunya adalah menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan (pengawetan sumber plasma nutfah).
UU 41/1999 tentang Kehutanan tidak menggunakan istilah sumber daya genetik, melainkan kekayaan plasma nutfah seperti tertera pada Pasal 52 (3) yang menyebutkan bahwa dalam penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, pemerintah wajib menjaga kekayaan plasma nutfah khas Indonesia dari pencurian.
Sementara UU 32/2009 memberikan mandat kepada pemerintah untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai sumber daya alam hayati dan non-hayati, keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, dan keamanan hayati produk rekayasa genetik.
Pengaturan secara khusus tentang sumber daya genetik ikan terdapat di UU 31/2004 jo UU 45/2009 tentang Perikanan. UU ini menyebutkan bahwa dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan, dilakukan upaya konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika ikan.
Pengaturan lebih lanjut tentang konservasi sumber daya ikan terdapat di PP 60/2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan. PP ini menguraikan bahwa konservasi sumber daya genetik ikan dilakukan melalui upaya: i) Pemeliharaan; ii) Pengembangbiakan; iii) Penelitian; dan iv) Pelestarian gamet. Pelestarian gamet yang dimaksud adalah suatu upaya pelestarian sumber daya genetik dengan cara menyimpan sel pembiakan berupa sel jantan (sperma) atau sel betina (ovum) yang dapat dilakukan dalam kondisi beku (bank sperma).
PP 60/2007 juga menentukan bahwa pemanfaatan jenis ikan dan genetik ikan dilakukan melalui kegiatan: i) Penelitian dan pengembangan; ii) Pengembangbiakan; iii) Perdagangan; iv) Aquaria; v) Pertukaran; dan vi) Pemeliharaan untuk kesenangan.
Dalam pelaksanaannya, pemanfaatan jenis ikan dan genetik ikan wajib mendapat izin Menteri sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per. 04/MEN/2010 tentang Tata Cara Pemanfaatan Jenis Ikan dan Genetik Ikan.
Sebagai tambahan, kebijakan pengelolaan sumber daya genetik terdapat juga di dokumen Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2015-2020 yang diterbitkan oleh Bappenas. Dalam dokumen ini disebutkan 3 misi pengelolaan keanekaragaman hayati (kehati), dimana misi kedua menyebutkan “menjadikan kehati sebagai sumber kesejahteraan dan keberlanjutan kehidupan bangsa Indonesia”.
Misi ini dilakukan untuk meningkatkan pemanfaatan kehati secara nyata dan lebih luas untuk pertumbuhan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini bisa dicapai melalui upaya peningkatan fungsi ekosistem untuk menjamin peningkatan layanan penting (air, kesehatan, mata pencaharian, wisata). Upaya pelestarian dan pemulihan ekosistem di kawasan yang terdegradasi, serta implementasi akses dan pembagian keuntungan dari sumber daya genetik.
Regulasi yang lebih komprehenfis terkait pengelolaan sumber daya genetik sebenarnya telah dikembangkan melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengelolaan Sumber Daya Genetik (PSDG). Pada tahun 2005, rencana penyusunan RUU PSDG masuk dalam daftar RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2005-2009.
Namun sayangnya, RUU ini belum terselesaikan hingga berakhirnya masa kerja DPR RI tahun 2009. RUU PSDG kemudian masuk lagi dalam daftar Prolegnas periode 2010-2014 dan periode 2015-2019, namun hingga tahun 2016 belum ada perkembangan berarti dari RUU tersebut. Dalam perkembangannya, konservasi genetik menjadi bagian dari RUU Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya yang merupakan revisi dari UU 5/1990.
Hal penting yang menjadi alasan perlunya UU PSDG adalah terjadinya pencurian keanekaragaman hayati yang kemudian dipatenkan dan dikomersialkan sehingga menimbulkan kerugian bagi negara penyedia sumber daya genetik. Kondisi ini sering disebut sebagai biopiracy. Hartati (2012) mencatat beberapa kasus biopiracy dalam bidang kelautan dan perikanan yang terjadi di beberapa negara, seperti Brasil, Filipina, Kanada, dan Amerika.
Di Brasil, masyarakat adat Wapishana yang tinggal di lembah sungai Amazon telah lama menggunakan semak cunani yang bersifat racun dalam menangkap ikan. Ketika daun cunani dikunyah dan dibuang ke sungai, maka ikan-ikan segera mati dan masyarakat Wapishana bisa memakannya tanpa menimbulkan efek samping.
Seorang ahli biokimia Inggris kemudian mempelajari pengetahuan tradisional dari tumbuhan ini dan melakukan penelitian genetik dengan cara mengisolasi bahan aktif. Kandungan bahan aktif ini dipercaya sebagai stimulan kuat untuk sistem saraf atau sebagai agen neuromuskuler yang dapat mencegah penyumbatan jantung. Ahli biokimia ini selanjutnya mendaftarkan temuannya untuk mendapatkan paten di Amerika dan Eropa.
Kepala suku Wapishana menuduh ahli biokimia Inggris ini telah mencuri pengetahuan nenek moyang mereka dan menjualnya ke perusahaan farmasi. Setelah melalui proses hokum, paten cunani akhirnya dibatalkan.
***
Cuplikan buku: Potret Kebijakan Kelautan dan Perikanan