Rachel Carson memulai bab pertama bukunya dengan judul ‘Dongeng untuk Hari Esok’.  Dia menggambarkan sebuah kota di jantung Amerika dimana semua kehidupan tampak hidup selaras dengan alam. Kota itu dikelilingi oleh lahan pertanian yang makmur dengan ladang gandum dan kebun buah-buahan.  Pada musim semi, awan putih mekar melayang di atas ladang hijau. Di musim gugur, pohon ek, maple, dan birchmembentuk kobaran warna yang menyala dan berkelap-kelip dengan latar belakang pohon pinus. Sementara rubah menggonggong di perbukitan dan rusa diam-diam melintasi ladang.

Tapi semuanya berubah saat penyakit aneh merayapi daerah itu. Penyakit misterius menyapu kawanan ayam.Sapi dan domba jatuh sakit dan mati. Para petani berbicara tentang banyak penyakit di antara keluarga mereka. Di kota, para dokter bingung dengan jenis penyakit baru yang muncul di antara pasien mereka. Ada beberapa kematian mendadak dan tidak dapat dijelaskan, tidak hanya pada orang dewasa tetapi juga pada anak-anak.  Mereka tiba-tiba terserang saat bermain dan mati dalam beberapa jam.

Ada keheningan yang aneh. Burung-burung entah pergi kemana. Tempat makan di halaman belakang sepi. Beberapa burung yang masih terlihat sudah hampir mati. Mereka gemetar hebat dan tidak bisa terbang. Di pagi hari yang dulu diramaikan dengan paduan suara berbagai jenis burung, sekarang tidak ada suara lagi.Hanya keheningan yang menyelimuti ladang, hutan, dan rawa.

Di peternakan ayam-ayam itu mengeram, tetapi tidak ada anak ayam yang menetas. Pohon apel mulai mekar tetapi tidak ada lebah yang berdengung di antara bunga-bunga itu, jadi tidak ada penyerbukan dan tidak akan ada buah.

Pinggir jalan, yang dulu begitu menarik, sekarang ditumbuhi vegetasi yang kecokelatan dan layu seolah-olah disapu api. Tempat ini juga sunyi, sepi oleh semua makhluk hidup. Bahkan sungai-sungai itu sekarang tak bernyawa. Pemancing tidak lagi mengunjungi mereka, karena semua ikan telah mati.

Itulah gambaran musim semi yang sunyi dan Rachel Carson memberi judul bukunya ‘Silent Spring’.

Buku Silent Spring yang puitis, namun penuh dengan data-data ilmiah, terbit tahun 1962 dan segera memicu debat panas di kalangan ilmuwan, pebisnis, hingga politikus Amerika. Perdebatan bukan hanya tentang substansi buku, tapi juga karena Rachel Carson adalah seorang perempuan.  Perlu diingat bahwa Amerika tahun 1960-an masih rasialis dimana perempuan, betapa pun perannya penting dan dicatat dalam sejarah negara, masih tersisih atau disisihkan dalam peran-peran publik.  Selain itu, buku Silent Spring terbit di tengah anggapan masyarakat bahwa pencemaran adalah simbol kemakmuran.

Menurut Lear (2002), buku ini telah menciptakan gerakan akar rumput yang menuntut perlindungan lingkungan, memprakarsai transformasi hubungan antara manusia dan alam, membangkitkan kesadaran lingkungan publik, dan menggerakkan serangkaian peristiwa yang mengakibatkan larangan produksi DDT (insektisida sintesis).  Bahkan, buku ini dianggap telah menciptakan revolusi sosial.

Perdebatan tentang buku Silent Spring berlangsung hingga beberapa tahun setelah penerbitannya dan mencapai puncaknya tanggal 22 April 1970.  Pada tanggal tersebut sekitar 20 juta orang Amerika turun ke jalan menuntut lingkungan yang lebih sehat.  

Pemerintah Amerika tidak kuasa menolak tuntutan rakyat, maka dibentuklah Environmental Protection Agency(EPA) dan dikeluarkan berbagai kebijakan terkait perbaikan lingkungan, seperti regulasi tentang udara bersih, air bersih, pengawasan bahan beracun, reklamasi, dan perlindungan spesies langka.  

Tanggal 22 April kemudian ditetapkan sebagai Hari Bumi yang setiap tahun diperingati di seluruh dunia.

Sekitar 2 tahun sejak demonstrasi besar-besaran di Amerika, PBB menyelenggarakan Konferensi mengenai Lingkungan Manusia (Conference on the Human Environment) di Stockholm, Swedia, tahun 1972.  Konferensi ini dikenal dengan Konferensi Stockholm dimana delegasi Indonesia saat itu dipimpin oleh Emil Salim.  Kehadiran Emil Salim pada Konferensi ini menandai kepemimpinannya dalam bidang lingkungan hidup di Indonesia, bahkan dunia.  

Konferensi Stockholm sendiri merupakan agenda resmi PBB pertama yang membahas isu lingkungan yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya World Commission on Environment and Development (Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan) tahun 1983.  

Sebelum komisi ini terbentuk, lembaga konservasi dunia IUCN merumuskan strategi konservasi dunia (World Conservation Strategy) pada 6 Maret 1980.  IUCN (The International Union for Conservation of Nature) adalah lembaga konservasi dunia yang keanggotaanya bahkan lebih besar dari PBB.  Kalau keanggotaan PBB hanya perwakilan negara, anggota IUCN mencakup negara dan organisasi masyarakat sipil.

Salah satu hal penting dari rumusan strategi konservasi dunia ini adalah definisi konservasi mengingat beragamnya definisi pada saat itu. Menurut Olver dkk (1995), kurangnya pemahaman yang jelas tentang definisi konservasi bisa menimbulkan konsepsi yang salah (misconceptions). John Muir (penulis alam liar dan presiden pertama Sierra Club), misalnya, menempatkan konservasi sebagai pelestarian nilai hakiki (intrinsic value) alam sebagai tempat keindahan, perenungan, dan pembaharuan spriritual manusia.  Sementara Gifford Pinchot, Kepala Layanan Hutan Amerika (US Forest Service) tahun 1898-1910, menempatkan konservasi sebagai pemanfaatan lingkungan secara bijak.  Ada juga pendapat Aldo Leopold yang pemikirannya berdasarkan rasionalitas ekologi (ecological rationale) guna menghindari sentimentalisme pelestarian alam dan pemanfaatan antroposentrik yang kaku. 

Hingga tahun 1900an, publik belum pernah mendengar istilah konservasi, tapi melalui Presiden Amerika Theodore Roosevelt, konservasi menjadi isu nasional.  Presiden Roosevelt mendefinisikan konservasi sebagai “pemanfaatan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kebaikan bagi sebanyak-banyaknya orang untuk waktu yang sepanjang-panjangnya” (the use of the natural resources for the greatest good of the greatest number for the longest time). 

Dengan latar belakang tersebut, dokumen strategi konservasi dunia IUCN mendefinisikan konservasi sebagai: pengelolaan pemanfaatan manusia terhadap biosfir sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya secara berkelanjutan bagi generasi sekarang sambil memelihara potensinya untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi mendatang (the management of human use of the biosphere so that it may yield the greatest sustainable benefit to present generations while maintaining its potential to meet the needs and aspirations of future generations).  

Definisi IUCN inilah yang diterima secara luas dan diadopsi oleh banyak negara di dunia.  Tanggal 6 Maret kemudian diperingati sebagai hari strategi konservasi dunia.

Definisi konservasi tersebut memiliki kemiripan dengan definisi pembangunan berkelanjutan yang yang dikembangkan oleh World Commission on Environment and Developmen(WCED) tahun 1987.  Komisi inidiketuai oleh Gro Harlem Brundtland, mantan Perdana Menteri Norwegia, sehingga sering disebut dengan Komisi Brundtland.  Bahkan publikasi komisi berjudul ‘Our Common Future’ juga dikenal dengan Laporan Brundtland.

Komisi Brundtland memberikan definisi pembangunan berkelanjutan sebagai: pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa membahayakan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya (development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs). 

Salah satu anggota dari Komisi Brundtland ini adalah Emil Salim, Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia.  Menurut Hadad (2010), saat Komisi Brundtland bersidang di Jakarta pada bulan Maret 1985, Emil Salim mengadakan forum dengar pendapat dan konsultasi publik dengan berbagai kelompok masyarakat, pengusaha, akademisi, dan wakil pemerintah.  Pendekatan partisipatif ini ternyata sangat efektif dalam menggali masukan, sehingga diterapkan pada rangkaian pertemuan Komisi berikutnya di Brazil, Zimbabwe, Uni Soviet, Jepang, Kanada, dan Norwegia.

Konsep pembangunan berkelanjutan yang disusun oleh Komisi Brundtland selanjutnya diformalkan pada Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de JaneiroBrasil, tahun 1992.  Di Indonesia, konferensi ini dikenal dengan KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Bumi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *