Masyarakat Indonesia dewasa ini sudah begitu familiar dengan terminologi pemanasan global (global warming) dan perubahan iklum (climate change).

Familiaritas ini terutama karena Indonesi menjadi tuan rumah hajatan besar konferensi PBB tentang perubahan iklim bulan Desember tahun 2007 lalu dan diliput secara uas semua media massa, cetak maupun elektronik, selama 2 minggu berturut-turut.

Familiaritas juga disebabkan oleh berita, yang dimuat secara luas oleh media massa, tentang terpilihnya Al Gore sebagai pemenang hadiah Nobel perdamaian atas usahanya yang tanpa mengenal lelah mengkampanyekan bahaya perubahan iklim bagi umat manusia.  Apa sebenarnya global warming dan atau climate change?

Pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change) merupakan dua terminologi yang berbeda tapi saling bertautan dan sering digunakan secara bergantian (interchangeable).  Pemanasan global adalah meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi, sementara perubahan iklim merujuk pada perubahan faktor-faktor iklim global, seperti suhu dan curah hujan.  Fenomena tersebut disebabkan oleh tingginya konsentrasi gas rumah kaca, utamanya karbon dioxida (CO2), di atmosfer yang berperan sebagai selimut yang memanasi dan kemudian mengubah iklim bumi secara global.

Sama halnya dengan pemanasan global dan perubahan iklim, istilah gas rumah kaca dan karbon sering digunakan secara bergantian, walaupun keduanya berbeda.  Karbon dioksida merupakan salah satu gas rumah kaca dengan kontribusi paling besar, lebih dari 50%, selain metana, nitogen oksida, sulfur heksaflorida, HFCs, dan PFCs.  Karbon dioksida dilepas ke atmosfer ketika terjadi pembakaran bahan bakar fosil, limbah padat, dan kayu.  Metana dilepaskan ke atmosfer selama proses produksi dan transportasi batu bara, gas alam, dan minyak bumi, serta pada proses pembusukan limbah organik di tempat pembuangan sampah (landfill). Nitrogen oksida dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil dan oleh lahan pertanian dan mampu menangkap panas 300 kali lebih besar dari karbon dioksida.

Bila ditarik garis sejarah, issu perubahan iklim untuk pertama-kalinya mendapat perhatian serius dari para pimpinan dunia ketika pada tahun 1990 Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), yang beranggotakan lebih dari 2,500 peneliti dari 130 negara,  menyatakan bahwa perubahan iklim merupakan ancaman serius bagi umat manusia di muka bumi ini dan menyerukan pentingnya kesepakatan global untuk menghadapi masalah ini.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merespon seruan IPCC tersebut dengan membentuk Intergovernmental Negotiating Committee (INC) dan selanjutnya membentuk United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau yang dikenal dengan Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim PBB pada tahun 1992 dalam rangkaian KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil.  Langkah berikutnya adalah membentuk Conference of the Parties (COP) yang secara reguler mengadakan pertemuan, setidaknya sekali dalam setahun.  Saat ini, Presiden COP-13 adalah Menteri Lingkungan Hidup Indonesia, Rachmat Witoelar.  Karena itu, beliau yang memimpin sidang pleno selama konferensi perubahan iklim di Bali.

IPCC membeberkan fakta-fakta yang menunjukan gejala perubahan iklim, diantaranya adalah suhu rata-rata global dalam kurun waktu 50 tahun terakhir telah naik 2 kali lipat dari rata-rata 100 tahun terakhir, konsentrasi karbondioksida di atmosfer telah naik dari 281 ppm pada tahun 1750 menjadi 383 ppm pada tahun 2007, kenaikan permukaan laut pada abad 20 jauh lebih tinggi dibandingkan pada periode 2000 tahun sebelumnya, suhu rata-rata Benua Arktik telah meningkat dua kali lipat dari suhu rata-rata seratus tahun terakhir.  Masih banyak fakta-fakta yang menunjukan terjadinya proses pemanasan global.

Pemanasan global adalah meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi, yang menurut para ahli, telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C selama seratus tahun terakhir.  Untuk Indonesia sendiri dilaporkan bahwa kenaikan suhu rata-rata tahunan antara 0,2 hingga 1 derajat celsius selama kurun waktu 1970 sampai 2004. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dan setidaknya 30 badan ilmiah menyimpulkan bahwa meningkatnya suhu global terjadi sejak pertengahan abad ke-20 dan disebabkan oleh tingginya konsentrasi gas rumah kaca.

Gas rumah kaca merupakan gas yang dilepaskan oleh hasil pembakaran bahan bakar fosil (combustion process), seperti minyak bumi, batu bara, dan gas alam, yang digunakan untuk kendaraan bermotor, pembangkit listrik,  dan kegiatan industri oleh hampir semua negara-negara di dunia. Proses pembakaran merupakan reaksi kimia dimana bahan bakar bereaksi dengan oksigen untuk menghasilkan panas.  Karena semua bahan bakar fosil mengandung karbon dan proses pembakaran membutuhkan oksigen, maka proses pembakaran melepaskan karbon dioksida (CO2).  Dewasa ini pembakaran batu bara, minyak dan gas bumi telah melepaskan milyaran ton karbon ke atmosfer setiap tahunnya.

Selain itu, tingginya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer diperparah dengan maraknya penebangan hutan (deforestasi) di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.  Bahkan Indonesia tercatat dalam Guinness Book of Records sebagai negara dengan tingkat kehancuran hutan tercepat di antara negara-negara yang memiliki 90 persen dari sisa hutan di dunia. Indonesia menghancurkan luas hutan yang setara dengan 300 lapangan sepakbola setiap jamnya.  Kombinasi dari kegiatan deforestasi, degradasi lahan gambut dan kebakaran hutan telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia, bersama Amerika Serikat, Cina, dan Jepang.  Menurut para ahli, 20-25% dari emisi gas rumah kaca disebabkan oleh pembukaan lahan hutan.

Hutan yang kaya akan tumbuhh-tumbuhan menyerap karbon melalui proses fotosintesis.  Proses fotosintesis merupakan proses biokimia yang terjadi pada tumbuhan dimana karbon dioksida dan air serta cahaya matahari digunakan untuk menghasilkan gula dan oksigen.  Dengan demikian, semakin banyak hutan yang tersedia di bumi ini, maka jumlah karbon dioksida di atmosfer akan semakin berkurang dan sebaliknya akan semakin banyak oksigen.

Gas rumah kaca ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi inframerah ke bumi, yang mestinya dilepaskan ke ruang angkasa.  Permukaan bumi menyerap sebagain energi matahari dan memantulkan sebagiannya lagi ke luar angkasa dalam bentuk gelombang inframerah.  Akan tetapi, karena tingginya konsentrasi gas rumah kaca maka radiasi inframerah terpantul kembali ke permukaan bumi, akibatnya suhu bumi mengalami peningkatan.  Proses seperti ini terjadi di rumah kaca yang sering dijadikan laboraturium pertanian oleh para peneliti, sehingga para pakar menyebutnya sebagai efek rumah kaca.

Efek negatif yang ditimbulkan oleh pemanasan global mencakup hampir semua negara, baik negara kaya maupun miskin, di kutub maupun di tropis, di daerah pegunungan maupun di pantai.

Pemanasan global menyebabkan gunung-gunung es di kutub mencair secara signifikan dan air laut memuai sehingga volume air laut bertambah banyak yang pada gilirannya menaikkan tinggi permukaan air laut.  Data satelit yang diambil sejak 1978 menunjukkan bahwa luasan laut es rata-rata di Benua Arktik telah berkurang sebesar 2.7% per dekade, sementara luasan maksimum daerah yang tertutup salju pada musim dingin/semi telah berkurang sekitar 7% pada Belahan Bumi Utara sejak tahun 1990.  Menurut sebuah laporan, dalam 50 tahun terakhir terdapat gumpalan es sebesar 500 milyar ton yang jatuh ke laut di Antartika.  Diprediksi, jika suhu rata-rata global sebesar 1,9-4,6 derajat celsius terus berlangsung selama 10 abad, maka lapisan es di Greenland akan habis dan permukaan laut akan meningkat sebesar 7 meter.

Menurut IPCC, tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 – 25 cm selama abad ke-20 dan diprediksi akan terus meningkat hingga 9-88 cm pada 100 tahun berikutnya.  Semakin tingginya permukaan laut dapat menyebabkan erosi pantai dan banjir air pasang, seperti yang terjadi kawasan Muara Baru, Jakarta Utara, belum lama ini.  Di kawasan tersebut, banjir pasang menerjang 4 ribu rumah dan mengakibatkan kerugian milyaran rupiah.

Tingginya permukaan laut dalam menenggelamkan banyak pulau-pulau kecil, termasuk negara-negara yang terletak di dataran rendah.  Bagi Indonesia, sebagai negara kepulauan, kenaikan permukaan laut 8-30 cm bisa menenggelamkan sekitar 2 ribu pulau-pulau kecil, baik yang berpenghuni maupun yang tidak, dan selanjutnya bisa menimbulkan sengketa perbatasan dengan negara-negara tetangga.  Negara-negara kepulauan kecil yang tergabung dalam Alliance of Small Island States (AOSIS) bersuara sangat keras dalam Konferensi PBB tentang perubahan iklim di Bali, menuntut langkah-langkah konkret penurunan emisi karbon di atas atmosfer bumi. Jika tidak, negara-negara tersebut akan tenggelam dengan semakin tingginya permukaan laut.

Bahkan beberapa negara anggota AOSIS yang mempunyai ketinggian 1-2 meter dari permukaan laut sudah mulai menguruk pulau-pulaunya agar terhindar dari bencana penenggelaman, tentu saja, dengan biaya yang sangat besar.  Demikian pula bagi negara-negara yang terletak di dataran rendah, seperti Belanda dan Bangladesh. Diperkirakan, kenaikan muka laut sebesar 100 cm dapat menenggelamkan lebih dari 15 persen negara Bangladesh dan lebih dari 5 persen negeri Belanda.

Bagi ekosistem terumbu karang, kenaikan suhu sebesar 2-3 derajat celsius diatas suhu air laut normal dapat menyebabkan pemutihan karang (bleaching) yang pada gilirannya dapat menyebabkan kematian massal.  Pada saat terjadi kenaikan suhu laut, zooonxanthella (tumbuhan mikroskopis pensuplai makanan dan oksigen bagi karang) akan pergi, sehingga terjadi proses  pemutihan.  Kepergian zooxanthella dapat menyebabkan kematian karang sebab 70-90 persen karang menggantungkan makanannya pada tumbuhan tersebut.

Secara umum, kenaikan suhu global sebesar 1,5 sampai 2,5 derajat celsius dapat menyebabkan kepunahan species hewan dan tumbuhan sebesar 20 sampai 30 persen.

Para ahli memprediksi bahwa keberadaan hewan pembawa penyakit, seperti nyamuk, akan semakin luas sebab mereka akan bermigrasi ke daerah yang sebelumnya dingin.  Artinya, dengan semakin banyaknya daerah-daerah yang hangat, maka semakin tersebar luaslah keberadaan hewan seperti nyamuk ini.  Para ahli juga memprediksi bahwa persentase penduduk dunia yang dapat tergigit oleh nyamuk, pembawa parasit malaria, akan meningkat dari 45 persen saat ini menjadi sekitar 60% ketika suhu global semakin meningkat.

Pemanasan global menyebabkan air semakin banyak yang menguap, baik dari lautan maupun dari tanah.  Uap air yang tinggi menyebabkan kelembaban tinggi dan berimplikasi pada meningkatnya curah hujan.  Dilaporkan bahwa curah hujan global telah meningkat sebesar 1 persen dalam kurun waktu 100 tahun terakhir.  Curah hujan yang tinggi berpeluang menjadi banjir, seperti banyak terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di hampir semua daerah di Indonesia.

Sementara itu, tanah yang kering akibat penguapan yang tinggi menyebabkan beberapa daerah mengalami kekeringan yang mengganggu produktifitas pertanian dan ketahanan pangan serta menimbulkan kebakaran hutan, seperti yang terjadi di Indonesia, Amerika, Australia, dan negara-negara lainnya selama tahun 2007 lalu.  Penguapan air yang tinggi juga menyebabkan angin topan menjadi semakin kuat dan semakin sering terjadi.  Dengan kata lain, iklim global menjadi tidak menentu dan lebih ekstrim.

Menurut laporan Badan Penanggulangan Bencana Nasional Indonesia, lebih dari 50 persen bencana alam yang terjadi di Indonesia merupakan bencana alam yang terkait dengan faktor cuaca.  Hal ini berarti bahwa perubahan iklim menyebabkan bencana ekologis dan bencana kemanusiaan yang saling berkaitan, seperti banjir, kebakaran hutan, kelaparan, kekurangan pangan dan gizi buruk, penyebaran penyakit, kepunahan species, sengketa antar negara, dan sebagainya.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa perubahan iklim telah menyebabkan kematian sebanyak 150 ribu jiwa pada tahun 2000, belum termasuk kematian sejumlah kurang lebih 20 ribu jiwa di Eropa akibat serangan gelombang panas (heat waves) pada tahun 2003.

Karena itu Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani, menyatakan bahwa perubahan iklim bukan hanya sekedar masalah lingkungan, melainkan merupakan tantangan ekonomi, pembangunan, dan investasi. Perubahan iklim telah mempengaruhi kegiatan bisnis dan dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi dunia dengan skala yang serupa dengan perang-perang besar dan depresi ekonomi.  Menurut laporan pemerintah Inggris, perubahan iklim dapat menghabiskan biaya sebesar 5 sampai 20 persen dari global gross domestic product (PDB global) jika tidak ada aksi yang dilakukan dari sekarang untuk mengurangi emisi karbon.

Kerugian paling parah akan diderita oleh negara-negara miskin padahal kontribusi mereka terhadap konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer tidaklah signifikan, tidak lebih dari 10 persen dari total emisi karbon dunia.  Sementara itu, sekitar 3 milyar warga dunia yang hidup dibawah garis kemiskinan merupakan kelompok yang paling merasakan dampak perubahan iklim sebab mereka tidak mempunyai kemampuan melakukan adaptasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *