Konsep tentang jasa lingkungan (environmental services) diperkenalkan pada tahun 1970an dan 1980an oleh beberapa pakar.
Alasan dibalik penggunaan konsep jasa lingkungan utamanya bersifat pedagogis (pedagogic) dan kebanyakan digunakan oleh pakar sumber daya alam dalam rangka mendemonstrasikan bagaimana kehilangan keanekaragaman hayati mempengaruhi fungsi-fungsi ekosistem yang menjadi penyokong jasa penting bagi umat manusia. Tujuannya adalah untuk memicu aksi konservasi sumber daya alam.
Terminologi jasa lingkungan kemudian mendapat perhatian dunia dengan diterbitkannya laporan studi berjudul Millenium Ecosystem Assessment tahun 2005, sebuah studi yang dilakukan selama 4 tahun dan melibatkan lebih dari 1.300 pakar dari berbagai negara. Laporan ini menyimpulkan bahwa lebih dari setengah jasa lingkungan dunia telah mengalami degradasi atau dimanfaatkan secara tidak berkelanjutan. Publikasi ini menempatkan konsep jasa lingkungan sebagai agenda utama kebijakan keanekaragaman hayati dan mendorong terjadinya publikasi terkait jasa lingkungan secara signifikan.
UN-ESCAP (2009) mendefinisikan jasa lingkungan sebagai manfaat yang diperoleh masyarakat dari hubungan timbal-balik yang dinamis yang terjadi di dalam lingkungan hidup, antara tumbuhan, binatang, jasa renik dan lingkungan non-hayati. Walaupun kekayaan materi dapat membentengi perubahan lingkungan, manusia sangat tergantung pada aliran jasa lingkungan tersebut.
Semakin meningkatnya kesadaran tentang nilai dari jasa lingkungan dan biaya yang harus dikeluarkan dengan hilangnya jasa lingkungan pada gilirannya menciptakan inisiatif program dan kebijakan berbasis pasar yaitu dengan penerapan skema Payment for Environmental Services (PES) atau pembayaran jasa lingkungan.
Dalam sejarahnya, Kosta Rika adalah negara pertama di dunia yang merintis program PES yaitu pada tahun 1996. Sejak itu tercatat lebih dari 280 program PES di seluruh dunia. Meskipun hasil dari program ini ada yang berhasil dan ada yang tidak, banyak negara tetap tertarik untuk melaksanakan program PES.
Menurut Wunder (2005), PES adalah transaksi sukarela untuk jasa lingkungan yang telah didefinisikan secara jelas (atau penggunaan lahan yang dapat menjamin jasa tersebut), dibeli oleh sedikit-dikitnya seorang pembeli jasa lingkungan dari sedikit-dikitnya seorang penyedia jasa lingkungan, jika dan hanya jika penyedia jasa lingkungan tersebut memenuhi persyaratan dalam perjanjian dan menjamin penyediaan jasa lingkungan. Dengan pengertian tersebut terdapat kriteria yang harus dipenuhi untuk desain PES, yaitu:
- Merupakan suatu transaksi sukarela
- Jasa lingkungan yang terdefinisikan dengan jelas untuk ditransaksikan
- Ada pembeli (minimal satu)
- Ada penjual (minimal satu)
- Jika dan hanya jika penjual (penyedia jasa) mengamankan ketentuan-ketentuan jasa secara terus menerus
Dalam sebuah transaksi PES, pemanfaat dari jasa lingkungan membayar atau menyediakan bentuk lain imbalan kepada pemilik lahan atau orang yang berhak menggunakan lingkungan tersebut (lahan, air tawar, atau laut) untuk mengelola lingkungan sedemikian rupa sehingga menjamin jasa lingkungan.
Salah satu contoh penerapan PES di Indonesia adalah jasa pemanfaatan air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cidanau, Provinsi Banten. Pemanfaat dalam kasus ini adalah PT. Krakatau Tirta Industri (KTI) yaitu perusahaan air minum yang memanfaatkan air baku dari Sungai Cidanau untuk memproduksi air bersih. Sementara penyedia jasa lingkungan dalam hal ini adalah masyarakat yang tinggal di hulu DAS Cidanau, yaitu masyarakat Desa Cibojong dan Desa Citaman (dalam perkembanggannya Desa Cibojong diganti dengan Cikumbueun karena melanggar kesepakatan). Di antara pemanfaat dan penyedia jasa lingkungan terdapat Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC) sebagai mediator transaksi sekaligus sebagai lembaga pengelola DAS Cidanau yang struktur kepengurusannya terdiri dari instansi pemerintah, swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan masyarakat.
PT. KTI sebagai pemanfaat (buyer) sepakat untuk dengan sukarela membayar Rp 175.000.000 (seratus tujuh puluh lima juta rupiah) per tahun dengan masa perjanjian pembayaran jasa lingkungan selama 5 (lima) tahun. Manfaat yang diperoleh PT. KTI dari transaksi ini adalah mengatasi penurunan debit air sungai Cidanau yang disebabkan oleh degradasi di hulu DAS Cidanau. Sementara masyarakat desa sebagai penyedia (seller/provider) menerima pembayaran sebesar Rp 1.200.000/ha dengan masa perjanjian pembayaran jasa lingkungan selama 5 (lima) tahun. FKDC sebagai mediator memperoleh 15% dari nilai transaksi yang digunakann untuk biaya pengelolaan jasa lingkungan, termasuk menyalurkan pembayaran dari PT. KTI kepada masyarakat desa.
Belajar dari pengalaman dalam pengembangan PES di berbagai negara, UN-ESCAP (2009) merumuskan tahapan-tahapan dalam penerapan PES yaitu sebagai berikut:
Tahap 1: Mengenali permintaan, menetapkan tujuan, dan menentukan nilai
- Menelaah kebutuhan dengan pertimbangan sosial ekonomi dari calon pembeli tertentu (komersial dan perorangan) akan jasa lingkungan tertentu
- Menetapkan, mengukur, dan melakukan penilaian atas jasa lingkungan tertentu maupun mengenali ancaman pada waktu ini dan mendatang
- Menentukan apakah PES merupakan alat kebijakan yang tepat, dan alat-alat lain apa saja yang akan diperlukan
- Menetapkan tujuan
- Menentukan nilai ekonomi dan nilai jual melalui penilaian lingkungan
Tahap 2: Menilai kemampuan dan kelayakan kelembagaan dan teknis
- Menilai segi hukum, kebijakan, dan kepemilikan lahan
- Memeriksa kebijakan yang ada mengenai PES, misalnya pengguna lahan seharusnya dapat menerima imbalan dan pembeli seharusnya memberi imbalan. Jika ada kewajiban pungutan, biaya atau pajak, itu semua seharusnya dapat diakses dalam program PES
- Melakukan survei atas jasa penunjang dan organisasi penunjang PES yang tersedia
Tahap 3: Menetapkan kerangka kelembagaan dan perjanjian
- Merancang rencana pengelolaan, usaha, dan komunikasi
- Menetapkan kerangka kelembagaan berdasarkan lembaga-lembaga yang ada, mencari cara lain untuk mengurangi biaya transaksi, dan meningkatkan kemampuan apabila diperlukan
- Menentukan cara pemberian imbalan yang tepat dan adil berdasarkan pertimbangan sosial ekonomi dan sosial budaya
- Menyusun model perjanjian dan dokumen operasional lain
Tahap 4: Pelaksanaan
- Komunikasi, pemasaran, negosiasi, dan pendaftaran perjanjian
- Melaksanakan pemantauan dan pembuktian
- Melaksanakan pembiayaan dan pembayaran
Secara umum terdapat empat jenis jasa lingkungan yang sudah dikenal oleh masyarakat global saat ini yaitu jasa lingkungan tata air (hidrologi), jasa lingkungan keanekaragaman hayati, jasa lingkungan penyerapan karbon, dan jasa lingkungan keindahan lanskap. Keempat jenis jasa lingkungan tersebut dijabarkan pada tabel berikut:
Jenis-jenis Jasa Lingkungan
No | Jasa Lingkungan | Pemanfaat Langsung | Pemanfaat Tidak Langsung |
1 | Jasa hidrologi | Air untuk kebutuhan sehari-hari | Pengguna air, seluruh sektor ekonomi |
Penghasil tenaga air | Pengguna tenaga air, seluruh sektor ekonomi | ||
2 | Dukungan keanekaragaman hayati | Kepentingan plasma nutfah (bioprospecting), termasuk perusahaan obat-obatan | Pembuat obat-obatan |
Kepentingan konservasi internasional | Perorangan, internasional | ||
Perusahaan penyedia ekowisata dan wisata alam, jasa terkait | Wisatawan | ||
3 | Keindahan alam | Perusahaan yang menyedian ekowisata dan wisata alam, jasa terkait | Masyarakat luas dan wisatawan |
4 | Jasa penyimpanan karbon | Investor pada pasar karbon | Pengguna energi tak terbarukan |
Penghasil gas rumah kaca | Masyarakat dunia |
Sumber: UN-ESCAP (2009)
Di wilayah pesisir dan lautan, Dahuri (1996) mencatat bahwa Indonesia memiliki berbagai macam jasa-jasa lingkungan yang sangat potensial bagi kepentingan pembangunan dan bahkan kelangsungan hidup manusia. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan jasa-jasa lingkungan meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim (climate regulator), kawasan perlindungan (konservasi dan preservasi), dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi ekologis lainnya.
Dari sisi regulasi pemerintah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur tentang PES. Menurut Undang-Undang ini, pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup. Salah satu instrumen ekonomi tersebut adalah pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup yang didefinisikan sebagai pembayaran/imbal yang diberikan oleh pemanfaat jasa lingkungan hidup kepada penyedia jasa lingkungan hidup.
Dalam sebuah media briefing tahun 2013 lalu, Kementerian Lingkungan Hidup menjelaskan bahwa skema PES dapat dilakukan diantara penyedia dan pemanfaat jasa lingkungan dalam kerangka G to G (Government to Government), G to C (Government to Community), G to P (Government to Private), C to C (Community to Community), C to P (Community to Privat), atau P to P (Private to Private). Pihak yang dapat bertindak sebagai fasilitator dapat diperankan oleh pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan organisasi non profit lainnya.
Selain Undang-Undang Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan juga mengatur tentang PES meskipun dengan terminologi yang agak berbeda yaitu ‘pungutan jasa konservasi’. Peraturan Pemerintah ini mengatur bahwa pembiayaan kawasan konservasi dapat berasal dari, salah satunya, pungutan jasa konservasi.
Namun perlu dicatat bahwa pungutan yang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah diatur oleh regulasi lainnya. Untuk pemerintah pusat, pungutan selain pajak dikategorikan sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang ketentuannya diatur melalui Peraturan Pemerintah tersendiri. Sementa untuk pemerintah daerah, setiap pungutan harus melalui Peraturan Daerah (Perda) sehingga membutuhkan pembahasan dan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Semua pungutan tersebut kemudian masuk ke rekening kas umum negara/daerah dan pengelolaannya melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD) yang prosesnya juga membutuhkan pembahasan dan persetujuan parlemen (DPR/DPRD).
***
Cuplikan buku: Pendanaan Berkelanjutan bagi Kawasan Konservasi Laut