Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan membutuhkan dana yang cukup besar dan sumber dana yang berkelanjutan.
Rata-rata biaya yang dibutuhkan adalah 7,75 dollar per hektar atau untuk 20 Juta hektar dibutuhkan 1.5 Trilyun rupiah per tahun (Balmford dkk:2007). Kelompok Kerja Pendanaan Berkelanjutan yang dibentuk oleh Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) memperkirakan kebutuhan biaya untuk pengelolaan kawasan konservasi seluas 15,7 juta hektar saat ini mencapai 225 milyar rupiah per tahun. Sementara ketersediaan anggaran dari APBN, APBD, dan LSM sebagai pelaksana program donor sekitar 75 milyar rupiah per tahun. Dengan demikian, terdapat kekurangan anggaran sebesar 150 milyar per tahunnya.
Kondisi ini menunjukan bahwa pendanaan berkelanjutan bagi pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia masih perlu dibangun agar jumlah dan kepastian ketersediaan dana cukup memadai dalam jangka panjang. Komponen pendanaan ini merupakan salah satu kontributor penting dalam pencapaian efektifitas pengelolaan suatu kawasan.
Pembangunan pendanaan yang berkelanjutan menyangkut setidaknya dua hal yaitu, mekanisme pendanaan (financing mechanism) dan institusi pendanaan (financing vehicle). Keduanya perlu dibangun di tingkat nasional dan di tingkat kawasan oleh Pemerintah Daerah. Demikian pula keterlibatan seluruh pemangku kepentingan baik antar unit kerja pemerintah, swasta dan pihak lain merupakan keharusan sebagai bagian dari pengelolaan kolaboratif suatu kawasan.
Di tingkat nasional, perlu dirancang dan dibakukan mekanisme dimana para pemangku kepentingan dapat berkontribusi dalam memenuhi biaya pengelolaan suatu kawasan. Salah satu gagasan yang dapat ditindaklanjuti adalah pelibatan SKK Migas, melalui kontraktor bagi hasil yang beroperasi di seluruh Indonesia, terutama yang berdekatan dengan kawasan konservasi. Dalam setiap blok yang dikelola, terdapat anggaran untuk program community development dan program penunjang operasi. Kedua program tersebut dapat diusulkan oleh pengelola kawasan konservasi dan kontraktor migas kepada SKK Migas berdasarkan rencana pengelolaan yang sudah dibangun. Dengan mekanisme ini, biaya pengelolaan ditanggung sebagian oleh SKK Migas dan kontraktornya dalam bentuk kegiatan.
Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) Anambas mulai menginisiasi mekanisme ini melalui ’pernyataan bersama’ untuk mendukung percepatan implementasi rencana pengelolaan dan zonasi KKPN Anambas yang ditandatangani oleh SKK Migas, Direktur KKJI, Ketua DPRD Provinsi Kepulauan Riau, Bupati dan Ketua DPRD Kepulauan Anambas, dan Conservation International (CI).
Di tingkat nasional, upaya ini perlu diperluas sehingga mencakup seluruh blok migas yang bersinggungan dengan Kawasan Konservasi Perairan. Pelibatan SKK Migas dan kontraktor migas melalui perjanjian kerja sama perlu dilembagakan untuk menjadi model bagi pelibatan pihak lain seperti perusahaan wisata, perikanan, dan lainnya dalam memenuhi kebutuhan biaya pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan.
Di tingkat daerah, mekanisme pendanaan yang perlu dibangun adalah koordinasi perencanaan anggaran kegiatan SKPD terkait untuk memenuhi biaya pengelolaan. Misalnya untuk kebutuhan infrastruktur kawasan perlu dianggarkan pada Dinas PU. Demikian juga untuk komponen pemanfaatan untuk wisata dapat dianggarkan pada Dinas Pariwisata. Komponen lain seperti pemberdayaan masyarakat pesisir dapat dianggarkan pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat, dan seterusnya. Dengan kata lain, pengelolaan kawasan bukan hanya menjadi tanggungjawab Dinas Kelautan dan Perikanan saja melainkan juga tanggungjawab semua SKPD dan stakeholder terkait. Untuk merealisasikan hal ini dibutuhkan leadership yang kuat untuk mengkoordinasikan dan memastikan penganggaran oleh SKPD lain yang terkait selain Dinas Kelautan dan Perikanan.
Untuk institusi pendanaan, saat ini regulasi pemerintah menyediakan dua kendaraan (vehicle) lain yang bisa digunakan yaitu Lembaga Wali Amanat (Trust Fund) dan Badan Layan Umum (BLU). Lembaga Wali Amanat diatur dalam Perpres Nomor 80 tahun 2011 Tentang Dana Perwalian. Perpres ini menjelaskan bahwa Lembaga Wali Amanat adalah suatu organisasi yang dibentuk oleh Kementerian/Lembaga untuk mengelola Dana Perwalian sesuai dengan kewenangan yang disepakati dalam Perjanjian Hibah. Dana Perwalian yang dimaksud adalah dana hibah yang diberikan oleh satu atau beberapa pemberi hibah, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Lembaga Wali Amanat terdiri dari Majelis Wali Amanat (MWA) yang diketuai oleh pemerintah dan Pengelola Dana Amanat (PDA). MWA dalam hal ini dipersamakan dengan Satuan Kerja (Satker) yang bertindak sebagai pengarah program dan menetapkan PDA. PDA sendiri mempunyai tugas utama menangani administrasi dan keuangan Dana Perwalian sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan administrasi dan keuangan yang disepakati dalam Perjanjian Hibah. Kriteria penting dalam pembentukan Trust Fund adalah komitmen awal dari pemberi hibah untuk pembentukannya. Dalam pelaksanaannya, Trust Fund dapat menyalurkan dana yang diterima untuk kegiatan yang diusulkan oleh unit kerja kementerian/lembaga, pemda, LSM dan komunitas.
Di tingkat daerah, unit pengelola kawasan yang berbentuk UPTD dapat mengadopsi sistem Badan Layanan Umum (BLU). Dasar hukum BLU adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Menurut Undang-Undang ini BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Definisi tersebut mengisyaratkan bahwa BLU merupakan paradigma baru dalam pengelolaan keuangan sektor publik yaitu dengan mewiraswastakan pemerintah (enterprising the government) dimana pelayanan kepada masyarakat dikelola ala bisnis (business like) agar lebih efisien dan efektif. Dengan BLU, pengelola dapat mempekerjakan staf bukan hanya dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) tapi juga Non-PNS profesional sesuai kebutuhan. Peluang ini secara khusus disediakan bagi satuan-satuan kerja pemerintah yang melaksanakan tugas operasional pelayanan publik, seperti layanan kesehatan, pendidikan, pengelolaan kawasan, dan lisensi.
Dengan karakteristik pelayanan tersebut, maka pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan memenuhi syarat substantif menggunakan pola pengelolaan keuangan BLU seperti yang diatur dalam Permendagri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan BLUD (BLU Daerah). Persyaratan substantif adalah pelayanan umum menghasilkan semi barang/jasa publik (quasipublic goods). Persyaratan lain untuk menerapkan BLUD adalah persyaratan teknis dan admlnistratif. Persyaratan teknis terpenuhi apabila kinerja pelayanan layak dikelola dan kinerja keuangannya sehat, sementara persyaratan administratif mencakup dokumen pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat, pola tata kelola, rencana strategis bisnis, standar pelayanan minimal, laporan keuangan pokok atau prognosa/proyeksi laporan keuangan, dan laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.
Saat ini Pemda Raja Ampat yang paling serius mengarahkan pengelolaan kawasan konservasi menggunakan pola BLUD disamping KKPD Sumbawa yang mentargetkan pembentukannya di tahun 2016. Untuk lebih meningkatkan pemahaman tentang pelaksanaan pola pengelolaan BLUD, Pemda Raja Ampat bahkan telah melakukan studi banding ke Kebun Binatang Ragunan yang merupakan Taman Margasatwa ex-situ yang dikelola dengan pola BLUD oleh Pemprov DKI Jakarta.
Semoga pengembangan mekanisme pendanaan dan kelembagaan dapat direalisir untuk memberikan energi baru bagi pembangunan pendanaan berkelanjutan bagi Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia.
***
Dimuat di MPAG News