Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan Dan Perikanan dewasa ini tengah gencar-gencarnya membentuk kawasan konservasi di wilayah perairan laut.
Target luasan kawasan konservasi laut hingga tahun 2010 seluas 10 juta hektar telah terlampaui yaitu mencapai 13,95 juta hektar dan selanjutnya kementerian yang dipimpin oleh Fadel Muhammad ini menargetkan 20 juta hektar pada tahun 2020. Beberapa kawasan konservasi merupakan inisiatif langsung dari kementerian, sementara kawasan lainnya merupakan inisiatif dari pemerintah daerah. Selain itu, terdapat 8 kawasan konservasi yang pengelolaanya telah dialihkan dari Kementerian Kehutanan (Ditjen PHKA) ke Kementerian Kelautan & Perikanan (Ditjen KP3K) yaitu Taman Wisata Perairan (TWP) Pulau Pieh, TWP Gili Indah, TWP Kepulauan Kapoposang, TWP Kepulauan Padaido, Suaka Perikanan (SP) Kepulauan Aru, SP Laut Banda, Suaka Alam Perairan (SAP) Raja Ampat, dan SAP Kepulauan Panjang.
Pengembangan kawasan konservasi di wilayah perairan laut merupakan amanat dari UU 31 Tahun 2004 yang diubah menjadi UU 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dan UU 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil. UU 45/2009 Pasal 7 menyebutkan bahwa dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan, Menteri menetapkan kawasan konservasi perairan. Sementara UU 27/2007 Pasal 28 (2) menegaskan bahwa untuk kepentingan konservasi, sebagian wilayah pesisir dan pulau pulau kecil dapat ditetapkan sebagai kawasan konservasi.
Nomenklatur Kawasan Konservasi Laut
Sebelum dikeluarkannya UU 31/2004 Tentang Perikanan, penamaan yang sering digunakan adalah Kawasan Konservasi Laut atau disingkat KKL. KKL yang dikembangkan oleh pemerintah daerah biasa di sebut Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Ada juga kawasan konservasi yang luasannya lebih kecil dan berada pada level desa yang disebut Daerah Perlindungan Laut (DPL).
Sejak dikeluarkan PP No 60/2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (KSDI), yang merupakan turunan dari UU 31/2004 tentang Perikanan, nomenklatur resmi yang digunakan adalah Kawasan Konservasi Perairan yang disingkat KKP. Namun demikian, terdapat istilah lain yang juga bisa digunakan sebagai nomenklatur kawasan konservasi laut sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) No 17 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Di Wilayah Pesisir & Pulau Pulau Kecil. Berdasarkan Permen ini, kategori kawasan konservasi laut terdiri atas Kawasan Konservasi Pesisir & Pulau Pulau Kecil (KKP3K), Kawasan Konservasi Maritim (KKM), Kawasan Konservasi Perairan (KKP), dan Sempadan Pantai.
Jika dirinci lebih detail, KKP3K terdiri dari Suaka Pesisir, Suaka Pulau Kecil, Taman Pesisir, dan Taman Pulau Kecil. KKM terdiri dari Perlindungan Adat Maritim dan Perlindungan Budaya Maritim. KKP terdiri dari Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, Suaka Alam Perairan, dan Suaka Perikanan.
Pembagian kategori KKP mengacu pada PP 60/2007 tentang KSDI dan Permen No 2 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan. Sementara kategori KKP3K mengacu pada Permen No 17/2008 tentang Kawasan Konservasi Di Wilayah Pesisir & Pulau Pulau Kecil. Khusus untuk sempadan pantai, hingga saat ini belum ada peraturan baru yang dikeluarkan Kementerian, sehingga dasar hukum yang digunakan masih Keputusan Presiden RI Nomor 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung. Berdasarkan Kepres tersebut, salah satu kawasan perlindungan setempat adalah sempadan pantai.
Ringkasnya, kategori kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dilihat pada bagan berikut:
Namun demikian, dari keempat kategori kawasan konservasi tersebut nampaknya Kementerian Kelautan & Perikanan lebih fokus pada pengembangan kategori Kawasan Konservasi Perairan (KKP), sementara 3 kategori lainnya masih belum kelihatan geliatnya.
Sistem Zonasi
Ciri utama dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah adanya sistem zonasi, yaitu pengalokasian ruang dalam rangka menentukan arah penggunaan sumberdaya. Melalui sistem zonasi ini, ditentukan kegiatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya boleh dilakukan setelah memperoleh izin.
Terdapat 2 acuan dasar dalam pembagian zonasi, yaitu PP 60/2007 tentang KSDI dan Permen 17/2008 tentang KKL. PP 60/2007 hanya mengatur zonasi di Kawasan Konservasi Perairan yang terdiri atas zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, dan zona lainnya, sementara Permen 17/2008 tentang KKL mengatur KKP3K dan KKM dimana sistem zonasinya terdiri atas zona inti, zona pemanfaatan terbatas, dan zona lainnya. Dengan demikian terdapat sedikit perbedaan sistem zonasi antara KKP dan KKP3K/KKM.
Bagi aparat penegak hukum, penegakan hukum di kawasan konservasi akan difokuskan pada zona inti sebab di zona inilah mestinya pembatasan dan atau pelarangan terhadap kegiatan ekstraksi sumberdaya ikan dilakukan agar tujuan utama konservasi dapat terwujud. Permen 17/2008 menguraikan zona inti sebagai daerah tempat berpijah (spawning ground), tempat bertelur (nesting site), daerah asuhan (nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground) ikan dan/atau biota perairan lainnya. Selain itu, zona inti merupakan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil yang relatif masih utuh dan tidak terganggu serta unik dan rentan terhadap perubahan.
Menurut PP 60/2007, zona inti di KKP diperuntukan bagi perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, penelitian, dan pendidikan. Sementara menurut Permen 17/2008, peruntukan zona inti jauh lebih luas dari yang ditentukan oleh PP 60/2007 yaitu perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan serta alur migrasi biota laut, perlindungan ekosistem pesisir yang unik dan/atau rentan terhadap perubahan, perlindungan situs budaya/adat tradisional, penelitian dan/atau pendidikan.
Berdasarkan aturan tersebut, maka kegiatan pemanfaatan yang dibolehkan di zona inti hanyalah pendidikan dan penelitian, sementara kegiatan pemanfaatan lainnya seperti penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, dan pariwisata alam perairan tidak diperbolehkan.
Pengawas Perikanan
Aparat penegak hukum di bidang perikanan adalah pejabat Polri, perwira TNI AL, dan Pengawas Perikanan. Pengawas Perikanan harus Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bekerja di bidang perikanan dan diangkat oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Kewenangan Pengawas Perikanan hampir sama dengan kewenangan aparat penegak hukum lainnya diantaranya adalah berwenang menghentikan, memeriksa, membawa, dan menahan kapal yang diduga atau patut diduga melakukan pelanggaran di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia ke pelabuhan terdekat untuk pemrosesan lebih lanjut. Pengawas Perikanan juga berwenang melakukan tindakan khusus terhadap kapal perikanan yang berusaha melarikan diri, melawan, membahayakan keselamatan kapal pengawas perikanan dan/atau awak kapal perikanan, serta mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Dalam melaksanakan tugasnya, Pengawas Perikanan dapat dilengkapi dengan kapal pengawas perikanan, senjata api, dan/atau alat pengaman diri. Berdasarkan amanat Undang Undang Perikanan tersebut, Kementerian Kelautan & Perikanan saat ini telah memiliki lebih dari 20 kapal pengawas perikanan dan 50an speedboat pengawasan yang tersebar di beberapa satker pengawasan di daerah. Sepak terjang tim patrol pengawasan perikanan sudah sering terdengar, termasuk penangkapan kapal nelayan Malaysia yang mencuri ikan di wilayah ZEE perairan Indonesia beberapa waktu yang lalu. Kasus penangkapan nelayan Malaysia ini cukup heroik mengingat Pengawas Perikanan dihalau oleh 3 helikopter Malaysia yang berusaha membebaskan nelayan mereka, namun para petugas tetap menggiring kapal nelayan Malaysia tersebut.
Kewenangan Pengawas Perikanan memang mencakup wilayah ZEE sebagaimana tercantum pada UU 45/2009 Pasal 73 ayat 2 yang menyebutkan bahwa selain penyidik TNI AL, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di ZEE Indonesia. Bahkan petugas Polri pun tidak memiliki kewenangan penyidikan di wilayah ZEE.
Pengawas perikanan bertugas untuk mengawasi tertib pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan yang meliputi 10 bidang, yaitu kegiatan penangkapan ikan, pembudidayaan ikan & perbenihan, pengolahan & distribusi keluar masuk ikan, mutu hasil perikanan, distribusi keluar masuk obat ikan, konservasi, pencemaran akibat perbuatan manusia, plasma nutfah, penelitian dan pengembangan perikanan, dan ikan hasil rekayasa genetik.
Penegakan Hukum di Kawasan Konservasi Laut
Salah satu bidang pengawasan perikanan yang menjadi tugas Pengawas Perikanan seperti disebutkan diatas adalah bidang konservasi. Konservasi sumberdaya ikan mencakup konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika ikan. Dengan demikian, Pengawas Perikanan memiliki kewenangan dalam penegakan hukum di kawasan konservasi laut.
Dalam upaya penegakan hukum, Pengawas Perikanan senantiasa berlandaskan pada aturan perundangan yang secara tegas mengatur kegiatan apa saja yang dianggap sebagai pelanggaran. Jika aturan perundangan tidak secara tegas mengaturnya, maka Pengawas Perikanan tidak akan melakukan tindakan hukum. Jika tetap dipaksakan, maka sidang pra-peradilan segera menanti di depan mata. Konsekuensi lainnya jika penegakan hukum dipaksakan berdasarkan aturan hukum yang tidak tegas, maka besar kemungkinan Pengawas Perikanan akan kalah di sidang pengadilan. Ujung-ujungnya akan muncul gugatan balik dari pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan hukum Pengawas Perikanan seperti yang terjadi pada kasus pengambilan karang di Kabupaten Alor belum lama ini.
UU 45/2009 Pasal 7 ayat 2 memang menegaskan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan perikanan wajib mematuhi ketentuan mengenai kawasan konservasi perairan. Selanjutnya, pada pasal yang sama (ayat 6) disebutkan bahwa Menteri menetapkan kawasan konservasi perairan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, pariwisata, dan/atau kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya. UU 27/2007 juga memberi kewenangan kepada Menteri untuk menetapkan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau pulau kecil. Sementara itu, menurut PP 60/2007 (Pasal 17), zonasi disusun oleh satuan unit organisasi pengelola untuk kemudian dinilai dan disahkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota (Permen 30/2010 tentang rencana Pengelolaan & zonasi KKP)
Perdebatan klasik mengenai penegakan hukum di kawasan konservasi adalah, apakah penetapan suatu kawasan konservasi melalui Keputusan Menteri sudah cukup kuat secara hukum? Dan apakah penetapan zona inti oleh unit pengelola kawasan memiliki kekuatan hukum?
Perdebatan hukum ini merujuk pada Undang Undang No 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Perundangan. Pasal 7 UU tersebut menyebutkan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah a). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b). Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c). Peraturan Pemerintah; d). Peraturan Presiden; dan e). Peraturan Daerah.
Dengan demikian, Peraturan/Keputusan Menteri, apalagi keputusan unit pengelola kawasan, tidak termasuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, sehingga tidak mengikat secara hukum.
Pertanyaannya, cukup yakinkah aparat dalam penegakan hukum di kawasan konservasi laut?