Tahun 2015 adalah tahun pemberantasan illegal fishing yang ditandai dengan penangkapan 157 kapal ilegal, 107 kapal diantaranya sudah ditenggelamkan. Kapal-kapal yang ditenggelamkan terdiri dari 39 kapal Vietnam, 34 kapal Filipina, 21 kapal Thailand, 6 kapal Malaysia, 4 kapal Indonesia, 2 kapal Papua Nugini, dan 1 kapal China.
Sebelum ditenggelamkan, kapal-kapal tersebut telah mendapat putusan pengadilan dan berkekuatan hukum tetap.
Dalam upaya pemberantasan ini, Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 115 Tahun 2015 tentang Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Illegal Fishing), dengan Komandan Satgas Menteri Kelautan dan Perikanan. Dalam siaran persnya, Menteri Kelautan dan Perikanan menyampaikan bahwa Satgas memiliki kekuatan hukum untuk menenggelamkan kapal-kapal pencuri ikan tanpa melalui proses pengadilan terlebih dahulu.
Tanpa Proses Pengadilan?
Perpres No. 115/2015 menyebutkan bahwa tugas Satgas adalah menegakkan hukum dalam rangka memberantas penangkapan ikan secara ilegal di wilayah yurisdiksi Indonesia (Pasal 2). Sementara kewenangan Satgas adalah menentukan target operasi, melakukan koordinasi dalam pengumpulan data informasi, membentuk dan memerintahkan unsur-unsur Satgas, dan melaksanakan komando dan pengendalian unsur-unsur Satgas dalam rangka pemberantasan illegal fishing (Pasal 3). Dengan demikian tidak ada pasal dalam Perpres yang menyebutkan bahwa Satgas memiliki kewenangan menenggelamkan kapal ikan tanpa melalui proses pengadilan.
Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 20014 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, payung hukum Perpres No. 115/2015, justeru memberi kepastian dalam penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan yang mencakup penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Undang-Undang Perikanan bahkan memandatkan pembentukan pengadilan perikanan di lingkungan peradilan umum yang berwewenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan.
Bahwa betul penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup (Pasal 69 ayat 4). Namun dalam penjelasan pasal tersebut diwanti-wanti agar tindakan khusus tidak dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi hanya dilakukan apabila penyidik dan/atau pengawas perikanan yakin bahwa kapal perikanan berbendera asing tersebut betul-betul melakukan tindak pidana di bidang perikanan.
Untuk menghindari kesan sewenang-wenang, maka keyakinan aparat penegak hukum di laut bahwa suatu kapal melakukan tindak pidana perikanan harus diuji di pengadilan. Kasus kapal MV Hai Fa menunjukan bahwa tidak 100% keyakinan penyidik dapat dibuktikan di pengadilan, sehingga kapal berbendera Panama ini hanya di hukum denda Rp 200 juta, kapal harus dikembalikan kepada pemiliknya, dan pemerintah tidak bisa menenggelamkannya.
Pasca Shock Therapy
Tindakan shock therapy yang dilakukan pemerintah dengan menenggelamkan kapal-kapal illegal fishing perlu mendapat apresiasi publik. Bagaimanapun illegal fishing merupakan musuh global yang harus diberantas sebab merugikan negara secara ekonomi, sosial, dan ekologis. Oceana (2013) memperkirakan kerugian ekonomi global dari kegiatan IUU fishing sebesar 10–23 milyar dollar per tahun dan mengancam 260 juta lapangan pekerjaan dunia. Sementara Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan bahwa kerugian ekonomi Indonesia akibat IUU fishing mencapai Rp 240 trilyun setiap tahunnya.
Namun demikian, kebijakan penenggelaman kapal langsung di lapangan tanpa melalui proses pengadilan merupakan kebijakan jalan pintas yang berpotensi melanggar hukum. Niat baik pemberantasan illegal fishing mestinya dilakukan dengan cara-cara yang bijaksana dan dapat dipertanggungjawabkan. Indonesia pernah memiliki pengalaman kelam dengan niat baik memberantas premanisme, tapi dilakukan dengan cara mengerahkan petrus (penembak misterius) yang kemudian dinilai melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Sebagai shock therapy, penenggelaman sejumlah kapal ikan ilegal selama tahun 2015 sudah cukup berhasil menciptakan efek jera, terlihat dari semakin berkurangnya kapal-kapal asing ilegal di perairan Indonesia. Karena itu pemerintah sebaiknya mulai fokus mengembangkan kebijakan strategis pasca tindakan shock therapy, salah satunya dengan membangun sistem perikanan nasional baru melalui revisi Undang-Undang Perikanan.
Beberapa pasal terkait penerapan intrumen pengelolaan perikanan perlu diperkuat sanksi hukumnya, seperti pemasangan Vessel Monitoring System (VMS), pengisian log book penangkapan ikan, penangkapan ikan di wilayah yang sudah ditentukan, larangan penangkapan jenis ikan dilindungi, dan sebagainya. Dalam Undang-Undang Perikanan sekarang, sanksi hukum bagi pelanggar ketentuan tersebut hanya diberi pidana denda yang relatif rendah sehingga banyak terjadi pelanggaran. Penambahan pasal pidana penjara dan peningkatan nilai pidana denda dalam revisi Undang-Undang Perikanan akan memberi insentif kepada pelaku perikanan untuk lebih taat pada ketentuan pengelolaan perikanan nasional.
Kebijakan strategis lainnya adalah membangun kompetensi aparat penegak hukum di laut agar mampu menangani perkara pidana perikanan secara lebih profesional sehingga bisa memenangkan sidang pengadilan. Terlepas dari stigma negatif terhadap peradilan Indonesia, publik akan mempertanyakan kompetensi penyidik dalam menyiapkan barang bukti dan mengajukan argumentasi hukum jika hakim membebaskan terdakwa suatu tindak pidana perikanan. Perlu diakui bahwa tidak mudah membangun argumentasi hukum yang berlandaskan pada logika pengelolaan perikanan yang kompleks.
Ujian pertama kompetensi aparat penegak hukum tahun 2016 adalah penanganan kasus besar Silver Sea 2 asal Thailand dimana Kejaksaan Tinggi Banda Aceh sudah dua kali mengembalikan berkas perkara ini kepada Penyidik. Publik tentu berharap pemerintah memenangkan perkara ini di pengadilan, sehingga kapal besar berbobot 2.285 Gross Ton (GT) tersebut bisa ditenggelamkan dengan bijaksana, dapat dipertanggungjawabkan, dan jauh dari kesan sewenang-wenang.