Negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, menyepakati konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) melalui The United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, tahun 1992.
Konsep pembangunan berkelanjutan yang disepakati dalam KTT Bumi mengacu pada World Commission on Environment and Development (WCED) yang dikenal juga dengan Brundtland Commission. Menurut WCED (1987), sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs. Artinya pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa membahayakan kemampuan generasi mendatang memenuhi kebutuhannya.
Salah satu hasil kesepakatan KTT Bumi adalah Agenda 21, yaitu program aksi global yang secara komprehensif mencakup semua bidang pembangunan berkelanjutan. Dari bidang-bidang tersebut terdapat bab khusus menyangkut kelautan dan perikanan, yaitu Bab 17 berjudul: protection of the oceans, all kinds of seas, including enclosed and semi-enclosed seas, and coastal areas and the protection, rational use and development of their living resources. Bab ini terdiri dari tujuh bidang program dimana dua diantaranya (bidang program C dan D) terkait dengan pengelolaan sumber daya perikanan di laut lepas (high seas) dan di wilayah jurisdiksi nasional. Kedua bidang program tersebut adalah: C) Sustainable use and conservation of marine living resources of the high seas; dan D) Sustainable use and conservation of marine living resources under national jurisdiction.
Pada perikanan laut lepas (bidang program C), Agenda 21 mengidentifikasi beberapa masalah, seperti perikanan yang tidak diatur (unregulated fishing), overcapitalization, kelebihan ukuran armada penangkapan ikan (excessive fleet size), pembenderaan semu (vessel reflagging) untuk menghindari pengawasan, penggunaan alat tangkap yang tidak selektif, database perikanan yang tidak dapat dipercaya (unreliable databases), dan kurangnya kerjasama antar negara. Karena itu setiap negara yang diharapkan melakukan kerjasama dalam pengelolaan perikanan di laut lepas, terutama dalam pengelolaan ikan-ikan yang bermigrasi jauh (highly migratory species) dan ikan-ikan yang bermigrasi terbatas (straddling fish stock).
Sementara permasalahan pengelolaan perikanan di wilayah jurisdiksi nasional (bidang program D) diantaranya adalah kelebihan tangkap (local overfishing), serbuan kapal ikan asing ilegal, degradasi ekosistem, overcapitalization, kelebihan ukuran armada penangkapan ikan (excessive fleet size), undervaluation hasil tangkapan ikan, penggunaan alat tangkap yang tidak selektif, perikanan yang tidak dapat dipercaya (unreliable databases), dan meningkatnya persaingan antara perikanan skala kecil dan perikanan skala besar. Berdasarkan permasalahan tersebut, negara pantai diharapkan memiliki komitmen untuk melakukan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan terhadap sumber daya perikanan di wilayah jurisdiksi nasional, mendukung keberlanjutan perikanan artisanal skala kecil, melarang praktek-praktek penangkapan ikan yang merusak lingkungan (destructive fishing practices), dan mengembangkan kawasan konservasi.
Agenda 21 terkait kelautan dan perikanan (Bab 17) seperti gambaran diatas pada dasarnya merujuk pada the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi Hukum Laut Internasional yang disepekati tahun 1982. UNCLOS membagi laut ke dalam dua zona maritim yaitu zona-zona yang berada di bawah yurisdiksi nasional dan zona-zona di luar yurisdiksi nasional. Zona-zona maritim yang berada di bawah yurisdiksi nasional dibagi lagi ke dalam zona-zona maritim yang berada di bawah kedaulatan penuh suatu negara pantai dan zona-zona maritim dimana negara pantai dapat melaksanakan wewenang serta hak khusus yang diatur dalam konvensi. Zona-zona maritim yang berada dibawah kedaulatan penuh adalah perairan pedalaman (internal waters), perairan kepulauan (archipelagic waters) bagi negara kepulauan, dan laut teritorial (territorial sea). Sementara zona-zona maritim yang berada di bawah wewenang dan hak khusus negara pantai adalah jalur tambahan (contigous zone), Zona Ekonomi Eksklusif (exclusive economic zone), dan landas kontinen (continental shelf). Sementara zona-zona maritim yang berada di luar yurisdiksi nasional adalah laut lepas (high seas) dan kawasan dasar laut internasional (international seabed area).
UNCLOS mengatur pengelolaan sumber daya perikanan khususnya pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan laut lepas, dimana keduanya bukan merupakan zona maritim dibawah kedaulatan penuh suatu negara pantai. Secara umum, negara pantai diminta untuk mempromosikan tujuan dari pemanfaatan optimum sumber daya perikanan agar tidak terjadi penangkapan ikan berlebih, yaitu dengan menjaga stok ikan pada level Maximum Sustainable Yield (MSY).
Beberapa tindakan konservasi (conservation measures) dalam pegelolaan perikanan terdapat pada Pasal 62 Ayat 4, yaitu: a) Perijinan bagi nelayan, kapal dan peralatan penangkapan ikan; b) Penentuan spesies yang boleh ditangkap dan kuota hasil tangkapan; c) Pengaturan musim dan wilayah penangkapan ikan, alat penangkapan ikan, dan jumlah dan ukuran kapal penangkapan ikan; d) Penentuan umur dan ukuran ikan yang boleh ditangkap; e) Penyajian informasi terkait kapal penangkapan ikan, statistik hasil tangkapan dan upaya penangkapam, dan laporan posisi kapal; f) Pelaksanaan riset perikanan; g) Penempatan observer diatas kapal perikanan; h) Pendaratan hasil tangkapan di pelabuhan; i) Syarat dan ketentuan terkait joint venture atau pengaturan kerjasama lainnya; j) Pelatihan dan transfer teknologi, termasuk dalam penelitian perikanan; dan k) Penegakan hukum.
UNCLOS juga mengatur secara garis besar mengenai beberapa spesies ikan yang mempunyai sifat khusus, termasuk jenis ikan yang beruaya terbatas (straddling fish) dan jenis ikan yang beruaya jauh (highly migratory fish). Pasal 6 mengarahkan negara pantai untuk bekerjasama melalui organisasi internasional untuk menjain konservasi dan mempromosikan pemanfaatan optimum spesies-spesies tersebut, baik di dalam maupun diluar ZEE. Di sisi lain, Agenda 21 memberi mandat kepada negara pantai, dengan bantuan PBB, untuk melaksanakan konferensi tentang jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh.
Amanat Agenda 21 tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 47/192 tanggal 22 Desember 1992, yang menghendaki dilaksanakannya Konferensi tentang Jenis Ikan yang Beruaya Terbatas dan Jenis Ikan yang Beruaya Jauh. Dalam Resolusi tersebut ditekankan agar Konferensi dapat mengidentifikasi persoalan yang berkaitan dengan konservasi dan pengelolaan jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh, mempertimbangkan pentingnya peningkatan kerja sama antar negara, serta menyusun rekomendasi yang tepat.
Setelah melalui enam kali persidangan yang berlangsung sejak April 1993 sampai Agustus 1995, bertempat di Markas Besar PBB di New York, ditandatangani draft final persetujuan dalam bentuk Agreement for the Implementation of the Provisions of the UNCLOS of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (United Nations Implementing Agreement/UNIA 1995). Tujuan Persetujuan ini adalah untuk menjamin konservasi jangka panjang dan pemanfaatan secara berkelanjutan atas sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh melalui pelaksanaan yang efektif atas ketentuan-ketentuan UNCLOS 1982. Selain itu, UNIA 1995 mengharuskan negara pantai (coastal states) dan negara penangkap ikan (states fishing) di Laut Lepas untuk bekerjasama melalui Regional Fisheries Management Organization (RFMO).
Berdasarkan mandat tersebut, saat ini telah terbentuk 17 RFMO di dunia dimana Indonesia menjadi anggota di tiga organisasi RFMO, yaitu Indian Ocean Tuna Commission/IOTC (Komisi Ikan Tuna Samudera Hindia), Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna/CCSBT (Komisi Konservasi Ikan Tuna Sirip Biru Selatan), dan Western and Central Pacific Fisheries Commission/WCPFC (Komisi Perikanan Wilayah Pasifik Barat dan Tengah). Sementara untuk Inter-American Tropical Tuna Commission (IATTC), Indonesia menjadi Cooperating Non Members.
Sejalan dengan UNCLOS, Agenda 21, dan UNIA, Konferensi FAO tahun 1995 secara konsensus menyetujui Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) atau Tata Laksana Perikanan yang Bertanggungjawab. CCRF mengatur prinsip-prinsip dan standar internasional tentang perilaku praktek-praktek yang bertanggungjawab untuk menjamin konservasi, pengelolaan, dan pembangunan sumber daya perairan yang efektif dengan memperhatikan ekosistem dan keanekaragaman hayati.
CCRF menegaskan bahwa pengelolaan perikanan harus memajukan pemeliharaan mutu, keanekaragaman, dan ketersediaan dari sumber daya perikanan dalam jumlah yang cukup untuk generasi kini dan mendatang dalam konteks ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan, dan pembangunan berkelanjutan (Pasal 6.2). Selain itu, negara harus mencegah tangkap lebih (overfishing) dan penangkapan ikan yang melebihi kapasitas (excess fishing capacity), dan harus melaksanakan langkah pengelolaan untuk menjamin upaya penangkapan seimbang dengan kapasitas produktif sumber daya perikanan tersebut dan pemanfaatannya yang berkelanjutan (Pasal 6.3).
KTT Bumi tahun 1992, selain menghasilkan Agenda 21, juga menyepakati Konvensi Keanekaragaman Hayati (the Convention on Biological Diversity/CBD), yaitu kesepakatan global tentang konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keragaman biologi. Otoritas tertinggi konvensi ini adalah the Conference of the Parties (COP) yang terdiri dari semua pemerintah yang telah meratifikasi kesepakatan, termasuk Indonesia. Pada pertemuan COP 10 di Jepang tahun 2010, disepakati Rencana Strategis Keanekaragaman Hayati dan Target Aichi 2011-2020 yang terdiri dari 20 target.
Aichi Target 6 menyebutkan bahwa pada tahun 2020 semua stok ikan dan invertebrata dan tumbuhan akuatik dikelola dan ditangkap secara berkelanjutan, secara legal, dan menerapkan pendekatan ekosistem, sehingga bisa menghindari overfishing. Rencana dan tindakan pemulihan terhadap semua spesies yang mulai dilaksanakan, kegiatan perikanan tidak berdampak signifikan terhadap spesies terancam punah dan ekosistem rentan, dan dampak dari kegiatan perikanan terhadap stok ikan, spesies, dan ekosistem berada pada batas-batas ekologi yang aman. Aichi Target 6 juga selaras dan mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, UNCLOS, CCRF, dan UNIA 1995.
Seiring dengan berakhirnya Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015, UN Sustainable Development Summit 2015 mengadopsi dokumen ‘Transforming Our Wolrd: 2030 Agenda for Sustainable Development’ sebagai dokumen agenda pembangunan berkelanjutan 2030. Dokumen ini selanjutnya dikenal dengan Sustainable Development Goals (SDGs) yang terdiri dari 17 tujuan/goals dan 169 target. Pengelolaan perikanan terdapat pada Goal 14 berjudul ekosistem lautan (life below water): Melestarikan dan memanfaatkan secara berkelanjutan sumber daya kelautan dan samudera untuk pembangunan berkelanjutan. Selanjutnya SDG Goal 14 terdiri dari 10 target dimana terdapat 4 target yang terkait langsung dengan pengelolaan perikanan, yaitu:
- Target14.4: Pada tahun 2020, secara efektif mengatur penangkapan dan menghentikan penangkapan ikan yang berlebihan, penangkapan ikan ilegal dan praktek penangkapan ikan yang merusak, serta melaksanakan rencana pengelolaan berbasis ilmu pengetahuan, untuk memulihkan persediaan ikan secara layak dalam waktu yang paling singkat yang memungkinkan, setidaknya ke tingkat yang dapat memproduksi hasil maksimum yang berkelanjutan sesuai karakteristik biologisnya.
- Target 14.6: Pada tahun 2020, melarang bentuk-bentuk subsidi perikanan tertentu yang berkontribusi terhadap kelebihan kapasitas dan penangkapan ikan berlebihan, menghilangkan subsidi yang berkontribusi terhadap penangkapan ikan ilegal, yang tidak dilaporkan & tidak diatur dan menahan jenis subsidi baru, dengan mengakui bahwa perlakuan khusus dan berbeda yang tepat dan efektif untuk negara berkembang & negara kurang berkembang harus menjadi bagian integral dari negosiasi subsidi perikanan pada the World Trade Organization.
- Target 14.7: Pada tahun 2030, meningkatkan manfaat ekonomi bagi negara berkembang kepulauan kecil dan negara kurang berkembang dari pemanfaatan berkelanjutan sumber daya laut, termasuk melalui pengelolaan perikanan, budidaya air, dan pariwisata yang berkelanjutan.
- Target 14.7b: Menyediakan akses untuk nelayan skala kecil (small-scale artisanal fishers) terhadap sumber daya laut dan pasar.
Masuknya pelarangan subsidi perikanan pada target SDG menunjukan bahwa subsidi perikanan telah menjadi isu penting dalam pengelolaan perikanan global. Menurut Sitanggang (2019), isu dampak negatif subsidi perikanan telah dibahas dalam berbagai forum internasional, termasuk World Summit on Sustainable Development of the United Nations tahun 2002 di Johannesburg, Ministerial Conference of the World Trade Organization tahun 2001 di Doha, dan Millenium Ecosystem Report of the UNEP tahun 2005 di Rio+20 tahun 2012. Menurut Jackson (1997), setidaknya ada tiga dampak subsidi terhadap perdagangan, yaitu: 1) Meningkatkan tingkat ekspor produk kepada negara pengimpor; 2) Meningkatkan ekspor dari negara yang memberi subsidi kepada negara ketiga, yang kemudian juga berdampak pada ekspor negara lain; dan 3) Membatasi impor kepada negara pemberi subsidi. Dampak subsidi ini melanggar liberalisasi perdagangan global.
FAO membagi subsidi perikanan dalam enam kategori, yaitu: 1) pembayaran langsung dari pemerintah kepada industri perikanan; 2) jasa dan transfer finansial tidak langsung; 3) implicit payments kepada atau tagihan terhadap industri; 4) program-program umum yang berdampak pada perikanan; 5) peraturan-peraturan; dan 6) kurangnya intervensi pemerintah. Sementara OECD membagi subsidi perikanan dalam lima kategori, yaitu: 1) pembayaran langsung; 2) cost-reducing transfers; 3) jasa-jasa umum; 4) dukungan harga pasar; dan 5) cost recovery (Westlund 2004). Dengan demikian, cakupan subsidi perikanan dalam kerangka FAO lebih luas dari cakupan OECD.
Sitanggang (2019) menguraikan bahwa setelah lebih dari lima tahun negosiasi di World Trade Organization (WTO), Chairman of the Rules Negotiations Group mengedarkan teks hasil konsolidasi Fisheries Subsidies Regulations proposed by the Chairman of the WTO Negotiating Group on Rules (Chair’s Text) pada tahun 2007. Negara-negara anggota berpandangan bahwa subsidi perikanan tidak boleh diperlakukan berbeda dengan subsidi-subsidi lain, maka proposal regulasi disiplin subsidi perikanan ini direncanakan akan menjadi Annex VIII dalam Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (SCM Agreement). Namun, proposal ini masih belum ditetapkan sebagai bagian dari SCM Agreement dan negosiasi masih berjalan hingga saat ini. Proposal ini mengatur subsidi perikanan yang dilarang yaitu subsidi pengurangan biaya modal dan biaya operasi penangkapan ikan atau servis armada, subsidi untuk keuntungan yang didapat dari transfer penangkapan ikan atau servis armada ke negara ketiga, subsidi untuk infrastruktur pelabuhan, dukungan pendapatan, dukungan harga, subsidi untuk akses masuk perairan negara lain, subsidi yang menguntungkan IUU-Fishing, dan subsidi yang berdampak pada stok ikan pada kondisi overfished. Namun demikian, proposal ini mengatur pengecualian terhadap larangan subsidi perikanan, seperti subsidi untuk dengan tujuan pemulihan akibat bencana alam, subsidi untuk pengurangan kapasitas penangkapan, subsidi terkait dengan keselamatan kapal perikanan, subsidi untuk pengadopsian alat tangkap tertentu yang bisa mengurangi dampak terhadap lingkungan perikanan laut, dan subsidi untuk penerapan Vessel Monitoring System.
Proposal ini dinyatakan tidak berlaku bagi negara miskin (Least-Developed Countries), sementara untuk negara berkembang terdapat ketentuan subsidi perikanan yang tidak dilarang apabila terkait pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah pantai mereka (seperti sumber daya ikan di laut teritorial) dan dilakukan oleh nelayan mereka sendiri secara individu (termasuk anggota keluarganya) atau diorganisasi dalam suatu asosiasi, hasil tangkapan hanya untuk nelayan dan anggota keluarganya, dan aktivitas tersebut tidak melebihi perdagangan dengan keuntungan kecil, dan tidak ada hubungan kerja dalam aktivitas yang dilakukan. Bagi negara berkembang juga diatur pengecualian pemberlakuan ketentuan tentang subsidi fasilitas pelabuhan, subsidi pendapatan dan dukungan harga. Demikian pula subsidi kapal perikanan dan biaya operasi bagi penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal dengan panjang dek tidak lebih dari 10 meter atau 34 kali panjang secara keseluruhan, atau kapal yang tanpa dek berapapun panjangnya, tidak berlaku bagi negara berkembang. Pengecualian berikutnya bagi negara berkembang terkait subsidi transfer lanjutan atas hak akses sepanjang aktivitas tersebut dilakukan di dalam ZEE negara berkembang, pengaturan mengenai pencegahan overfishing dalam persetujuan akses, dan pengaturan tersebut harus mencakup persyaratan dan didukung kajian stok yang dilakukan secara alamiah (Sitanggang 2019).