Stok ikan ditentukan oleh empat komponen utama, yaitu jumlah ikan baru (rekruitmen), pertumbuhan, kematian alami (natural mortality), dan penangkapan ikan oleh manusia (fishing mortality). 

Dari keempat komponen tersebut, penangkapan ikan oleh manusia merupakan penyebab utama terkurasnya ikan di laut sehingga diperlukan pengaturan perikanan.  Tanpa adanya pengaturan, dengan kondisi common property, maka stok ikan akan mudah mengalami over-eksploitasi.

Untuk memahami kondisi stok ikan dalam rangka pengaturan tersebut, maka diperlukan pendugaan stok ikan (stock assessment).  Pendugaan stok merupakan hal yang sangat penting dalam pengelolaan perikanan, bahkan tata laksana pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries) secara jelas menyebutkan bahwa semua negara harus mengerahkan segala upaya untuk mengumpulkan semua informasi yang dibutuhkan untuk kegiatan pendugaan stok ikan (Pasal 8.4.3).

Indonesia memiliki potensi sumber daya ikan yang besar dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, dimana perairan Indonesia memiliki 27,2% dari seluruh flora dan fauna yang terdapat di dunia.  Potensi sumber daya ikan Indonesia meliputi pelagis besar, pelagis kecil, udang peneid dan krustasea lainnya, demersal, moluska dan teripang, cumi-cumi, karang, ikan konsumsi perairan karang, ikan hias, penyu laut, mamalia laut, dan rumput laut (Mallawa, 2006).

UU 31/2004 jo UU 45/2009 tentang Perikanan mengamanatkan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menetapkan potensi dan alokasi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Dalam menetapkan potensi dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan tersebut, menteri mempertimbangkan rekomendasi dari komisi nasional yang mengkaji sumber daya ikan.  Komisi nasional dimaksud dibentuk oleh menteri dan beranggotakan para ahli di bidangnya yang berasal dari lembaga terkait.  Para ahli ini terdiri dari pakar, akademisi, dan pejabat instansi pemerintah terkait yang mempunyai keahlian di bidang sumber daya ikan.

Hingga tahun 2012, Menteri Kelautan dan Perikanan telah tiga kali mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) tentang Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan), yaitu melalui PER.14/MEN/2005, PER.13/MEN/2009, PER.13/MEN/2010 dan terakhir PER.16/MEN/2012.  Menurut Permen ini, Komnas Kajiskan merupakan lembaga non-struktural yang bersifat mandiri dan berada di bawah serta bertanggung jawab kepada Menteri Kelautan dan Perikanan.

Jumlah anggota Komnas Kajiskan adalah 23 orang untuk periode 3 tahun yang terdiri dari bidang keahlian biologi perikanan, pengkajian stok ikan, teknologi/kapasitas penangkapan ikan, bio-ekonomi perikanan, pengelolaan perikanan, biologi laut, ekologi perairan, limnologi, oseanografi, dinamika populasi, akustik perikanan, penginderaan jauh, sistem informasi geografis, dan statistik perikanan.

Pengangkatan kembali anggota Komnas Kajiskan diusulkan oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan dengan mempertimbangkan saran dari Ketua Komnas Kajiskan periode sebelumnya.

Komnas Kajiskan mempunyai tugas memberikan masukan dan/atau rekomendasi kepada Menteri Kelautan dan Perikanan melalui penghimpunan dan penelaahan hasil penelitian/pengkajian mengenai sumber daya ikan dari berbagai sumber.

Komnas Kajiskan tidak melakukan penelitian sendiri melainkan menghimpun dan menelaah hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga penelitian. Kegiatan peneltian kondisi stok ikan di Indonesia dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) KKP dan lembaga penelitian lainnya.  Hasil-hasil penelitian dari lembaga inilah yang kemudian di himpun, ditelaah, divalidasi, dan disintesiskan oleh Komnas Kajiskan untuk selanjutnya memberi rekomendasi kebijakan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan.  Berdasarkan rekomendasi Komnas Kajiskan, menteri menetapkan potensi dan alokasi sumber daya ikan di WPP RI.

Salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan berdasarkan rekomendasi dari Komnas Kajiskan adalah Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP. 45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.  Kepmen ini menyebutkan bahwa estimasi potensi sumber daya ikan di Indonesia adalah sebesar 6,5 juta ton per tahun.  Jumlah potensi ini dibagi kedalam tujuh kelompok sumber daya ikan, yaitu pelagis besar, pelagis kecil, demersal, udang, ikan karang konsumsi, lobster, dan cumi-cumi.

Kepmen 45/2011 juga menyajikan status tingkat eksploitasi sumber daya ikan di setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP).  Terdapat empat tingkatan status eksploitasi, yaitu: i) Over-exploited (warna merah), tingkat eksploitasi telah melewati level MSY; ii) Fully exploited (warna kuning), tingkat eksploitasi berada pada level MSY; iii) Moderate (warna hijau), tingkat exploitasi dibawah level MSY; iv) Moderate to fully-exploited (warna jingga), tingkat eksploitasi berada antara level moderate dengan fully-exploited.

Pada tahun 2016, Pemerintah mencabut Kepmen 45/2011 dan dinyatakan tidak berlaku seiring dengan keluarnya Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47/Kepmen-Kp/2016 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.  Estimasi potensi sumber daya ikan berdasarkan Kepmen baru ini sebesar 9,9 juta ton per tahun, mengalami peningkatan dari 6,5 juta ton per tahun berdasarkan Kepmen 45/2011.

Tingkat pemanfaatan juga mengalami perubahan, yaitu dari 4 tingkatan berdasarkan Kepmen 45/2011 menjadi 3 tingkatan.  Ketiga tingkat pemanfaatan tersebut adalah: i) Over-exploited (tingkat eksploitasi telah melewati level MSY); ii) Fully exploited (tingkat eksploitasi berada pada level MSY); dan iii) Moderate (tingkat exploitasi dibawah level MSY).

Baik Kepmen 45/2011 maupun Kepmen 47/2016, keduanya menunjukan bahwa setiap WPP telah mengalami status over-exploited untuk kelompok sumber daya ikan tertentu.  Dengan kondisi ini, maka tujuan utama pengelolaan perikanan adalah mengembalikan status over-exploited menjadi fully exploited atau bahkan moderate.  Melakukan pembiaran terhadap kondisi over-exploited akan menggiring perikanan menuju pada kehancuran (collapse).

Dalam pengelolaan stok ikan, pemerintah mulai menggunakan pendekatan Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM) atau pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan.  Istilah EAFM sendiri, menurut Monintja (2013), mulai digunakan secara luas setelah Deklarasi Reykjavik pada tahun 2001 yang selanjutnya diakui sebagai suatu bentuk dari kerangka tata kelola perikanan, dengan mengambil prinsip-prinsip konseptual dan instrumen operasional dari pengelolaan perikanan konvensional di satu pihak, dan pengelolaan ekosistem di pihak lain.

FAO (2003) mendefinisikan Ecosystem Approach to Fisheries sebagai  “an ecosystem approach to fisheries strives to balance diverse societal objectives, by taking account of the knowledge and uncertainties about biotic, abiotic and human components of ecosystems and their interactions and applying an integrated approach to fisheries within ecologically meaningful boundaries” (suatu pendekatan ekosistem terhadap perikanan yang berupaya menyeimbangkan tujuan sosial yang beragam dengan mempertimbangkan pengetahuan dan ketidakpastian tentang biotik, abiotik dan komponen manusia dari ekosistem, serta interaksinya dengan menerapkan pendekatan terpadu untuk perikanan dalam batas-batas yang bermakna ekologis).

Dengan demikian, beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan antara lain adalah: i) perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak yang dapat ditoleransi oleh ekosistem; ii) interaksi ekologis antar sumberdaya ikan dan ekosistemnya harus dijaga; iii) perangkat pengelolaan sebaiknya compatible untuk semua distribusi sumberdaya ikan; iv) prinsip kehati-hatian dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan perikanan; dan v) tata kelola perikanan mencakup kepentingan sistem ekologi dan sistem manusia (FAO, 2003).

Otoritas Pengelolaan Perikanan

Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya, pemerintah memiliki kewenangan dalam pengelolaan sumber daya laut di wilayah laut sejauh 0 – 200 mil laut.  Namun dalam penyelenggaraannya, pemerintah menganut asas desentralisasi dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.

Sejak dimulainya era reformasi tahun 1998, Undang-Undang terkait pemerintahan daerah telah mengalami tiga kali perubahan, yaitu UU 22/1999, UU 32/2004, dan UU 23/2014.  Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 (UU 22/1999) tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya laut.  Undang-Undang ini menyebutkan bahwa wilayah daerah propinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan.  Pada ketentuan berikutnya disebutkan bahwa kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota di wilayah laut adalah sejauh sepertiga dari batas laut Daerah Propinsi.

Kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya laut tetap ada pada Undang-Undang pemerintahan daerah yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (UU 32/2004) tentang Pemerintahan Daerah.

UU ini memberi kewenangan kepada pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) yang memiliki wilayah laut untuk mengelola sumber daya di wilayah lautnya.  Kewenangan pengelolaan ini meliputi: i) Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; ii) Pengaturan administratif; iii) Pengaturan tata ruang; iv) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; v) Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan vi) Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.

Pembagian kewenangan pengelolaan sumber daya laut pada UU 32/2004 ini sama dengan UU 22/1999 sebelumnya, yaitu paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota.  Sementara wilayah laut diluar 12 mil laut hingga Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) merupakan kewenagan pemerintah pusat berdasarkan UU 6/1996 tentang Perairan Indonesia dan UU 5/ 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia.

Namun dalam perkembangannya, kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam mengelola sumber daya laut dihapus seiring dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 (UU 23/2014) tentang Pemerintahan Daerah. UU ini menyebutkan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi.

Selanjutnya ditegaskan bahwa kewenangan daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.  Tabel berikut menggambarkan batasan kewenangan terbaru antara pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota:

Perbandingan kewenangan antara UU 32/2004 dan UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah

Level PemerintahanUU 32/2004UU 23/2014
Pemerintah Pusat12-200 mil12-200 mil
Pemerintah Provinsi4-12 mil0-12 mil
Pemerintah Kabupaten/Kota0-4 mil

Perubahan batasan kewenangan ini berimplikasi terhadap pengelolaan perikanan berbasis WPP sebab setiap WPP terdiri dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dimana setiap level pemerintahan tersebut memiliki batasan kewenangan dalam menerbitkan ijin penangkapan Ikan seperti tabel berikut.

Batasan kewenangan dan penerbitan izin

Level PemerintahanUU 32/2004UU 23/2014
Pusat> 30 GT> 30 GT
Provinsi10-30 GT5-30 GT
Kabupaten/Kota5-10 GT

Dengan tidak adanya kewenangan pemerintah kabupaten/kota, maka pengelolaan perikanan di setiap WPP relatif menjadi lebih sederhana sebab hanya melibatkan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi.  Namun demikian, keberadaan fishery management authority dari setiap WPP tetap menjadi kebutuhan.

Prototype dokumen Rencana Pengelolaan Perikanan pada WPP 718 memuat penataan kelembagaan (institutional arrangement) dengan menggunakan model Regional Fisheries Management Organization (RFMO), yang terdiri dari:

  1. Unit Pelaksana Pengelolaan Perikanan. Unit Pelaksana Pengelolaan Perikanan ((Fisheries Management Implementation Unit/FMIU) WPP-NRI 718 dibentuk sebagai suatu unit dan diberikan mandat untuk melakukan pengelolaan perikanan WPPNRI 718. Mandat diberikan oleh Direktur Jenderal Perikanan Tangkap sebagai pejabat yang memiliki otoritas untuk melakukan pengelolaan perikanan nasional. Pemberian mandat ini dilakukan seijin Menteri Kelautan dan Perikanan RI. Unit Pengelolaan Perikanan ini bekerja untuk menyusun program dan kegiatan kerja, pengusulan anggaran, pengelolaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi, penyelesaian permasalahan, dan penyampaian informasi terkait perikanan WPP-NRI 718.
  2. Komite Teknis (Technical Committee). Komite Teknis memiliki fungsi utama untuk melakukan evaluasi, mengorganisir isu-isu atau permasalahan, dan membuat laporan tahunan perikanan WPPNRI 718. Komisi Teknis diharuskan untuk dapat menghasilkan rekomendasi riset dan data yang diperlukan bagi penelitian dan evaluasi alternatif-alternatif kebijakan pengelolaan perikanan.
  3. Komite Ilmiah (Scientific Committee). Komite Ilmiah memiliki fungsi utama untuk menindaklanjuti rekomendasi riset dan data yang diperlukan bagi penelitian dan evaluasi alternatif-alternatif kebijakan pengelolaan perikanan yang diberikan oleh Komisi Teknis. Hal ini dimaksudkan agar rekomendasi maupun data yang akan digunakan dalam perencanaan atau perubahan kebijakan memiliki tingkat validitas yang tinggi.
  4. Komite Kepatuhan (Compliance Committee). Komite Kepatuhan berperan untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tindakan manajemen yang telah direkomendasikan untuk dilaksanakan dalam pengelolaan WPP-NRI 718. Komite Pengawasan diharapkan dapat memberikan jaminan RPP dijalankan dengan sebaik-baiknya. Komite Kepatuhan akan berkoordinasi dengan UPT Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan yang ada di WPPNRI 718, yang merupakan Unit Kerja dibawah Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan.
  5. Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (FKPPS). FKPPS regional dan nasional merupakan forum komunikasi dan konsultasi dalam rangka pengelolaan perikanan di WPPNRI 718.
  6. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan (Komnas Kajiskan). Komnas Kajiskan berperan untuk memberikan masukan dan/atau rekomendasi melalui penghimpunan dan penelaahan hasil penelitian/pengkajian mengenai sumber daya ikan dari berbagai sumber, termasuk bukti ilmiah yang tersedia (best scientific evidence available), dalam penetapan potensi dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan.

***

Cuplikan buku: Potret Kebijakan Kelautan dan Perikanan

http://nulisbuku.com/books/view_book/9213/potret-kebijakan-kelautan-dan-perikanan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *