Tujuh pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Makassar siap bertarung dalam Pilkada kota Makassar bulan Oktober mendatang.
Mereka sudah bergegas melontarkan retorika kampanye sebagai jualan politik untuk meraih simpati massa.
Sayangnya, materi yang diusung umumnya mencakup isu yang sama, yaitu pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan, dan pembukaan lapangan kerja.
Beberapa kandidat, memang sudah mempunyai program detail, tetapi sebagian lainnya masih berkutat pada tataran visi.
Padahal, para kandidat sebenarnya bisa mengadopsi konsep MDGs (Millenium Development Goals) sebagai materi kampanye sekaligus sebagai komitmen politik bahwa MDGs akan menjadi arus utama (mainstream) pembangunan Kota Makassar 5 tahun ke depan yang selanjutnya dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Jika pemerintah kota Makassar nantinya menjadikan MDGs sebagai bagian tak terpisahkan dari rencana pembangunan kota, maka bisa jadi Makassar menjadi kota yang pertama dan satu-satunya di Indonesia yang menerapkan program MDGs secara komprehensif. Artinya, Makassar akan menjadi pusat perhatian dunia internasional dalam pembangunan daerah berbasis MDGs.
Sudah saatnya Makassar disorot karena succes story atau best practice berkat keberhasilannya dalam pembangunan dan bukan karena kasus kematian Daeng Basse, wanita hamil 7 bulan yang meningal karena kelaparan.
Warga Makassar sudah bosan menjadi sorotan pemberitaan kasus-kasus kriminal yang hampir setiap hari muncul di media televisi nasional ataupun berita tentang maraknya demonstrasi mahasiswa yang sering berakhir anarkis, bahkan untuk isu-isu yang tidak strategis.
MDGs menawarkan pendekatan pembangunan yang komprehensif yang diyakini bisa meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai subjek dan objek pembangunan. MDGs menggunakan pendekatan yang inklusif dalam pemenuhan hak-hak dasar manusia yang terdiri dari delapan tujuan, 18 target, dan 52 indikator yang mesti dicapai dalam kurun waktu 25 tahun dari 1990 sampai 2015.
Kedelapan tujuan pembangunan milenium tersebut adalah menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar untuk semua, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak,
meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya, menjamin pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan, dan mengembangkan kemitraan global dalam pembangunan.
Kedelapan tujuan pembangunan mllenium tersebut bukanlah poin-poin yang berdiri sendiri, namun saling berkaitan satu sama lain.
Masalah kemiskinan, misalnya, sangat erat kaitannya dengan isu-isu sosial seperti rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, pelayanan kesehatan yang tidak terjangkau rakyat miskin, kerusakan lingkungan hidup, meningkatnya angka penderita HIV/AIDS, serta kematian ibu dan balita.
Dengan kata lain, kelayakan konsep MDGs sebagai acuan utama program pembangunan Kota Makassar tidak perlu diragukan.
Konsep ini sendiri disusun oleh ratusan pakar dari berbagai negara, baik dari negara maju maupun negara berkembang, dan disahkan oleh 189 kepala negara yang menandatangani deklarasi milenium dalam KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Millenium PBB tahun 2000 lalu di New York.
Deklarasi milenium dan MDGs diluncurkan berdasarkan pada fakta empiris bahwa terjadi ketimpangan yang sangat mencolok antara negara maju di satu sisi dan negara berkembang/negara miskin di sisi lain.
Negara-negara yang tergabung dalam G8 (Groups of Eight) yang penduduknya hanya 14 persen dari total populasi dunia menguasai 63 persen GDP (Gross Domestic Product) dunia atau setara dengan 28 triliun dolar.
Sementara di negara berkembang dan negara miskin, penduduknya masih berjuang memerangi kelaparan, kematin bayi, dan penyakit yang merenggut banyak jiwa. Melalui skema MDGs, negara-negara maju berkomitmen untuk mengalokasikan 0,7 persen dari GDPnya untuk membantu negara-negara berkembang sampai tahun 2015.
Menjelang separuh jalan (mid point) menuju sasaran pembangunan milenium tahun 2015, beberapa negara berkembang telah menunjukan pencapaian yang signifikan, sementara negara berkembang lainnya cenderung stagnan.
Sayangnya, posisi Indonesia dinilai termasuk negara yang cenderung stagnan dan bahkan mengalami kemunduran (falling further behind) dalam pencapaian target-target MDGs bersama Filipina, Nepal, Laos, Sri Lanka, dan Papua Nugini.
Beberapa analis berpendapat bahwa pencapaian yang kurang menggembirakan ini disebabkan oleh faktor bencana alam yang sering melanda Indonesia, beban utang luar negeri yang masih tinggi, krisis pangan global, dan lain-lain.
Namun satu hal yang paling mendasar adalah MDGs masih dianggap sebagai domain pemerintah pusat sementara pemerintah daerah yang merupakan ujung tombak pembangunan di era desentralisasi ini masih gagap terhadap konsep pembangunan global ini.
Untuk mendobrak kebuntuan ini diperlukan kerja sama yang padu antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, LSM, pengusaha, media, akademisi, dan stakeholder lainnya.
Namun demikian, inisiatif cathing up atau pengejaran terhadap target-target MDGs sebaiknya dilakukan oleh pemerintah daerah sebab institusi inilah yang memiliki otoritas kebijakan, fasilitas pelayanan publik, dan anggaran yang paling besar.
Karena itu, dalam konteks Pilkada Makassar saat ini, sudah saatnya para calon pemimpin Kota Makassar memahami benar konsep MDGs dan mempersiapkan implementasinya dalam rangka mewujudkan masyarakat kota yang bermartabat.
Para kandidat tidak perlu khawatir tidak mampu mengejar target-target MDGs sebab program ini memang dirancang serealistis mungkin dalam kurun waktu 25 tahun, dari 1990 sampai 2015.
Dengan kata lain, realisasi pencapaian MDGs bukanlah mission impossible. Pengentasan kemiskinan, misalnya, ditargetkan proporsi jumlah penduduk miskin (pendapatan di bawah 1 dolar per hari) turun menjadi setengah dari jumlah tahun 1990. Untuk pendidikan, MDGs menargetkan semua anak, laki-laki dan perempuan, dapat menyelesaikan pendidikan dasar.
Angka kematian Balita ditargetkan turun sebesar dua per tiga dan angka kematian ibu turun sebesar tiga per empat. Sementara proporsi masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap air minum dan sanitasi dasar ditargetkan turun hingga setengahnya.
Namun perlu dicatat bahwa MDGs bukan sekadar masalah ukuran atau angka-angka kuantitatif melainkan lebih merupakan upaya untuk mendorong tindakan nyata utnuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin. Langkah konkret untuk mencegah kematian ibu jauh lebih penting daripada sekadar menghitung berapa banyak perempuan yang meninggal saat melahirkan.
Memastikan semua anak memperoleh asupan gizi yang cukup jauh lebih penting ketimbang sekadar menghitung berapa jumlah anak yang masih kekurangan gizi. Tujuan MDGs bukan sekadar 100 persen anak usia sekolah dapat menyelesaikan pendidikan dasar, namun lebih pada upaya untuk memberikan anak-anak pendidikan yang utuh dan berkualitas.
Dalam implementasinya, Pemerintah Kota Makassar mesti mempersiapkan data-data yang dibutuhkan untuk memudahkan proses perencanaan, monitoring, dan evaluasi terhadap pencapaian target-target MDGs. Selain itu, koordinasi dengan pemerintah pusat dan badan PBB yang menangani MDGs merupakan sebuah keharusan.
Dan yang tak kalah pentingnya adalah mendorong dan memfasilitasi para pemangku kepentingan untuk berpartisipasi secara aktif dalam program MDGs.
Tanpa kolaborasi antara pemerintah kota dengan para pemangku kepentingan, target-target MDGs dijamin tidak akan tercapai. Dalam konteks ini, para pengusaha akan berperan melalui skema CSR, media melakukan proses familiarisasi MDGs, akademisi menelaah dari sisi keilmuan, dan LSM melakukan advokasi dan capacity building.
Pada akhirnya, warga Kota Makassar menantikan figur pemimpin yang mampu membawa perubahan besar dalam meningkatkan kualitas hidup warganya. Seorang figur yang mempunyai determinasi untuk mencapai target-target MDGs. Seorang figur yang mempunyai visi jauh ke depan melampaui batas-batas kelokalan daerah.
***
Dimuat di harian Fajar edisi 24 Juli 2008