Sekjen PBB Kofi Annan meluncurkan Principles for Responsible Investment (PRI) atau prinsip-prinsip investasi yang bertanggungjawab pada tanggal 27 April 2006 di Bursa Efek New York.  Terdapat 6 prinsip-prinsip investasi yang bertanggungjawab (PRI), yaitu:

  1. Memasukkan isu-isu ESG ke dalam analisis investasi dan proses pengambilan keputusan.
  2. Menjadi pemilik aktif dan memasukkan isu-isu ESG ke dalam kebijakan dan praktik kepemilikan.
  3. Mencari pengungkapan yang sesuai tentang isu-isu ESG oleh entitas tempat berinvestasi. 
  4. Mendorong penerimaan dan penerapan prinsip ini dalam industri investasi.
  5. Bekerja sama untuk meningkatkan efektivitas dalam menerapkan prinsip ini. 
  6. Melaporkan kegiatan dan kemajuan kami menuju penerapan Prinsip.

Dari 6 prinsip investasi tersebut, 3 diantaranya menyebut terminologi ESG, yaitu akronim dari Environmental(Lingkungan), Social (Sosial), dan Governance (Tata kelola perusahaan).

Inilah pertama kali istilah ESG diperkenalkan secara formal oleh PBB.  Sejak saat itu ESG menjadi kosa kata yang sering diucapkan dalam perbincangan para pemimpin pemerintahan, investor, manajemen perusahaan, akademisi, dan juga sebagian LSM.  

Dalam perkembangan selanjutnya, investasi yang mempertimbangkan faktor-faktor ESG dalam keputusan investasi sering disebut dengan berbagai istilah, seperti investasi ESG, investasi berkelanjutan, investasi yang bertanggungjawab, investasi hijau, dan sebagainya. Kadang juga disamakan dengan impact investing dan social investing, meskipun sebenarnya agak berbeda.

Jumlah lembaga investasi yang menandatangani (signatories) komitmen PRI mengalami peningkatan yang sangat pesat, yaitu dari 63 lembaga pada saat diluncurkan tahun 2006 menjadi lebih dari dari 3.000 lembaga pada tahun 2020.  

Nilai Assets Under Management (AUM) juga meningkat secara signifikan, dari USD 3 triliun saat pertama kali diumumkan (tahun 2006) menjadi sekitar USD 120 triliun pada tahun 2021.   Bandingkan dengan belanja negara dalam APBN 2021 yang nilainya sebesar IDR 2.750 triliun atau hanya USD 0,2 triliun (menggunakan nilai tukar rupiah yang ditetapkan dalam APBN 2021 sebesar IDR 14.600 per USD).

Grafik dan angka-angka diatas merupakan sinyal kuat bahwa para investor dunia mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh aspek ESG dalam keputusan investasi.  

Selain peluncuran PRI tahun 2006, perkembangan ESG mendapat momentum pada tahun 2008 ketika terjadi krisis keuangan global. Krisis ini mengingatkan banyak pihak bahwa ada saling ketergantungan yang sangat erat antara masyarakat, ekonomi, dan pasar keuangan.

Demikian juga dengan pandemi Covid-19 yang memicu krisis keuangan global menjadi akselerator meningkatnya ketertarikan investor terhadap ESG.  Dengan kata lain, krisis keuangan memunculkan kesadaran kolektif di pasar modal bahwa keuntungan finansial tetap dapat diperoleh sambil berkontribusi terhadap perbaikan lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan. 

Ada faktor lain yang juga penting dalam pertumbuhan investasi ESG, yaitu investor milenial.  Survei yang dilakukan oleh Morgan Stanley tahun 2017 menunjukan bahwa 86% investor milenial tertarik pada investasi berkelanjutan yang bukan saja menghasilkan keuntungan finansial tapi juga memberikan dampak positif terhadap sosial dan lingkungan.  Survei ini juga menyebutkan bahwa 75% investor milenial percaya bahwa investasi mereka dapat mempengaruhi kondisi perubahan iklim dan 84% percaya bahwa investasi mereka dapat mengurangi angka kemiskinan.  Sebagai catatan, investor milenial merupakan pewaris kekayaan senilai USD 30 trilliun.

Kesungguhan para investor ESG global terlihat saat Pemerintah Indonesia membahas RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang terkesan mengabaikan aspek lingkungan demi mendatangkan investor.  Mereka berkirim surat ke Pemerintah Indonesia, menyampaikan kekuatiran semakin luasnya kerusakan hutan tropis, semakin hilangnya keanekaragaman hayati, serta semakin parahnya pemanasan global dan perubahan iklim.  Para investor global yang berkirim surat ini merupakan pengelola aset senilai USD 4,1 trilliun.

Keseriusan investor ESG juga dapat dilihat dari surat CEO Blackrock, Larry Fink, kepada semua kliennya pada awal tahun 2020 yang menekankan bahwa perubahan iklim merupakan resiko investasi yang mempengaruhi keuntungan perusahaan dalam jangka panjang.  Karena itu Blackrock semakin memperkuat pertimbangan faktor-faktor ESG dalam setiap keputusan investasi. Sebagai catatan, Blackrock merupakan pengelola dana investasi terbesar dunia dengan nilai Assets Under Management  (AUM) lebih dari USD 7 trilliun, jauh lebih besar dari nilai APBN Indonesia tahun 2021.

Namun perlu digarisbawahi bahwa pertumbuhan investasi ESG bukan tanpa halangan. Salah satu yang menjadi isu penting dalam investasi ESG adalah greenwashing, yaitu menjadikan isu lingkungan sebagai iklan gimmick atau sensasi pemasaran.  Artinya, perusahaan membuat klaim palsu tentang keberlanjutan produk mereka untuk menghasilkan keuntungan dari tren keberlanjutan yang sedang populer dewasa ini.

Menanggapi isu tersebut, Uni Eropa akan membuat regulasi untuk mencegah aksi greenwashing.  Uni Eropa akan membagi semua produk investasi ke dalam dua kategori, yaitu produk berkelanjutan dan produk non-berkelanjutan.  Kategori produk investasi berkelanjutan akan tunduk pada persyaratan pengungkapan (disclosure) yang ketat.  Di sisi lain, perusahaan yang tidak memenuhi standard keberlanjutan akan kesulitan memperoleh akses permodalan.

Selain regulasi pemerintah, cara untuk menghindari aksi greenwashing adalah menggunakan peringkat (rating) yang dilakukan oleh lembaga pemeringkat ESG.  Beberapa pemeringkat ESG yang cukup terkenal adalah MSCI, FTSE Russell, RobecoSAM, Sustainalytics, dan Refinitiv.

MSCI, misalnya, membagi peringkat perusahaan ke dalam tiga level ESG, yaitu Leader (AAA, AA), Average(A, BBB, BB), dan Laggard (B, CCC) seperti gambar dibawah ini:

Peringkat Leader (pemimpin) menunjukan bahwa perusahaan memimpin industrinya dalam mengelola risiko dan peluang ESG yang paling signifikan. Peringkat Leader terdiri dari AAA dan AA dimana peringkat AAA merupakan peringkat tertinggi.

Peringkat Average (rata-rata) mengindikasikan bahwa perusahaan dengan rekam jejak yang beragam atau luar biasa dalam mengelola risiko dan peluang ESG yang paling signifikan dibandingkan dengan rekan-rekan industri.  Peringkat Average secara berurutan terdiri dari A, BBB, dan BB.

Sementara peringkat Laggard (tertinggal) berarti bahwa perusahaan tertinggal dari industrinya berdasarkan eksposur yang tinggi dan kegagalan dalam mengelola risiko ESG yang signifikan.  Peringkat Laggard terdiri dari B dan CCC dimana peringkat CCC merupakan peringkat terendah dalam peringkat MSCI.

Investor juga dapat mengetahui kinerja investasi ESG melalui indeks saham berbasis ESG di beberapa pasar saham, seperti  MSCI KLD 400 Social, MSCI USA ESG Focus, MSCI USA ESG Leaders, MSCI USA ESG Universal, DJ Sustainability US Composite, FTSE4Good US Select, dan FTSE4Good US. 

Di Indonesia sendiri sudah ada indeks saham berbasis ESG sejak tahun 2009, yaitu Indeks SRI-KEHATI. Indeks ini merupakan hasil kolaborasi antara Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan Yayasan KEHATI.  SRI-KEHATI adalah kependekan dari Sustainable and Responsible Investment (SRI)-Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI).

Jika dibandingkan dengan indeks saham bluechip, seperti LQ45, kinerja SRI-KEHATI Index terlihat lebih baik dari tahun ke tahun.  Ini berarti bahwa para investor tidak hanya menerima profit dalam melakukan investasi di pasar saham, tapi juga memastikan dampak bisnis terhadap kondisi lingkungan dan keanekaragaman hayati di Indonesia.

Secara sederhana, SRI-KEHATI Index memilih 25 saham dari 600an saham di Bursa Efek Indonesia saat ini.  Pemilihan 25 saham ini dilakukan melalui 3 tahap penapisan, yaitu dari aspek bisnis inti, aspek keuangan, dan aspek fundamental.  

Dari aspek bisnis inti, terdapat sembilan daftar negatif sektor bisnis yang tidak boleh masuk dalam Indeks SRI-KEHATI, yaitu perusahaan yang bergerak dalam bidang pestisida, nuklir, senjata, tembakau, alkohol, pornografi, perjudian, GMO (Genetically modified organism), dan pertambangan batubara. 

Dari aspek keuangan, beberapa kriterianya adalah memiliki kapitalisasi pasar dan total aset lebih dari IDR 1 triliun, free float ratio lebih dari 10 persen, dan rasio price earning (PE) positif.  

Sementara dari aspek fundamental, terdapat 6 indikator yang dinilai, yaitu tata kelola perusahaan, lingkungan, keterlibatan masyarakat, perilaku bisnis, sumber daya manusia, dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Beberapa perusahaan Asset Management kemudian membuat produk reksadana berbasis Indeks SRI-KEHATI dengan total dana kelolaan (Asset Under Management) hingga akhir tahun 2021 sebesar IDR 2,5 triliun.  

Selain Indeks saham SRI-KEHATI, Yayasan KEHATI pada bulan Desember 2021 meluncurkan 2 indeks saham baru, yaitu ESG Quality 45 (ESGQ 45) dan ESG Sector Leaders (ESG SL) ESGQ 45 merupakan indeks yang berisikan 45 saham terbaik dari hasil penilaian kinerja sustainabilitas dan kualitas keuangan perusahaan, serta memiliki likuiditas yang baik untuk bisa ditransaksikan sebagai konstituen indeks.  Sementara ESG SL adalah indeks yang berisikan saham dengan hasil penilaian kinerja ESG di atas rata-rata industrinya. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *