Pada tahun 1991 para peneliti dari Universitas Missouri mempopulerkan istilah bioprospecting ketika melakukan penelitian spekulatif untuk menemukan sumber daya keanekaragaman hayati (Kehati) yang bisa dimanfaatkan untuk pengobatan. 

Proyek ini berlangsung selama 3 tahun di negara-negara tropis yang memiliki tingkat Kehati tinggi.  Dalam perkembangannya dewasa ini, nilai ekonomi bioprospecting diperkirakan mencapai US$ 500 milyar per tahun yang mencakup sektor farmasi, produk pertanian, tanaman hias, kosmetik, dan berbagai produk bioteknologi lainnya.

Bioprospecting (biodiversity prospecting) didefinisikan sebagai the systematic search for biochemical and genetic information in nature in order to develop commercially valuable products for pharmaceutical, agricultural, cosmetic and other applications (UNDP, 2016).  Berbeda dengan pemanfaatan sumber daya alam pada umumnya yang melakukan eksploitasi secara besar-besaran, bioprospecting menghasilkan nilai dengan memanfaatkan sampel biologi untuk dianalisis melalui kajian sains dan selanjutnya digunakan untuk pengembangan produk komersial.  Dengan kata lain, bioprospecting tidak perlu menebang hutan atau menangkap ikan sebanyak-banyaknya melainkan cukup mengambil sedikit sampel biologi yang berkualitas.

Negara maju sangat bergairah menemukan senyawa biokimia di alam yang bernilai komersial seiring dengan semakin majunya bioteknologi, sementara negara berkembang umumnya menempatkan diri sebagai penyedia utama sumber daya genetik.  Costa Rika adalah negara berkembang yang berhasil memanfaatkan bioprospecting berdasarkan sumber daya Kehati yang dimilikinya.  National Institute of Biodiversity (INBio) Costa Rica berhasil membuat kesepakatan dengan perusahaan farmasi raksasa Merck dari Amerika dengan nilai US$ 2,6 juta.  Sebagai imbal baliknya, Merck memperoleh akses terhadap penelitian-penelitian terkait ekstraksi kimia dari tumbuhan, serangga, dan mikro-organisme liar.

Tingkat keberhasilan bioprospecting hingga tahap komersialisasi produk umumnya tergantung pada informasi awal dari masyarakat lokal (local knowledge) yang secara turun-temurun memanfaatkan suatu sumber daya Kehati untuk berbagai kebutuhan.  Di Kabupaten Sanggau (Kalimantan Barat), misalnya, masyarakat suku Dayak Jangkang Tanjung sering menggunakan daun sawi hutan (Elephantopus mollis) sebagai obat sakit perut. Dengan informasi awal ini, para peneliti bioprospecting dapat mengembangkan produk obat sakit perut modern melalui ekstraksi biokimia dari tumbuhan tersebut.

Karena itu masyarakat lokal mesti mendapat manfaat dan memberi persetujuan terhadap rencana pengembangan produk bioprospecting.  Tanpa adanya persetujuan ini, maka kegiatan bioprospecting masuk dalam kategori biopiracy atau pembajakan Kehati.  Istilah biopiracy diperkenalkan oleh Pat Mooney asal Kanada tahun 1993 untuk menggambarkan perampasan sumber daya genetik dan pengetahuan lokal oleh individu/lembaga untuk memperoleh kontrol eksklusif melalui hak paten.

Salah satu kasus biopiracy yang cukup terkenal adalah hak paten penggunaan kunyit untuk pengobatan luka yang diperoleh oleh ilmuwan dari Universitas Mississippi tahun 1995.  India mengajukan keberatan atas hak paten ini dengan alasan bahwa masyarakat India telah menggunakan kunyit sebagai salep luka selama ribuan tahun. Paten tersebut akhirnya dibatalkan tahun 1997.

Dalam rangka memerangi biopiracy, para pemimpin dunia telah menyepakati Protokol Nagoya pada pertemuan para pihak Konvensi Keanekaragaman Hayati (COP-10 CBD) tahun 2010 di Nagoya, Jepang.  Protokol Nagoya mengatur  Access and Benefit Sharing (ABS), yaitu pembagian keuntungan yang adil dan seimbang dari setiap pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik.  Sederhananya, Protokol Nagoya mengatur akses dan pembagian keuntungan antara negara maju dan negara berkembang.  Dalam hal ini negara maju sebagai pengguna sumber daya genetik yang memiliki sains dan teknologi, sementara negara berkembang sebagai penyedia sumber daya genetik.

Bioprospecting Indonesia

Indonesia telah meratifikasi Protokol Nagoya melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 (UU 11/2013) Tentang Pengesahan Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to The Convention on Biological Diversity (Protokol Nagoya Tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati).  Namun perlu digarisbawahi bahwa UU 11/2013 masih merupakan penetapan prosedural bahwa Indonesia telah meratifikasi Protokol Nagoya, belum menjadi regulasi dalam arti material (substantif).  Karena itu diperlukan Undang-Undang lain yang mentransformasikan norma Protokol Nagoya ke dalam hukum nasional.

Pada tahun 2005, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengelolaan Sumber Daya Genetik (PSDG) masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2005-2009.  Namun sayangnya, RUU ini belum terselesaikan hingga berakhirnya masa kerja DPR-RI tahun 2009. RUU PSDG kembali masuk dalam daftar Prolegnas periode 2010-2014 dan periode berikutnya 2015-2019, namun hingga kini belum ada perkembangan berarti dari RUU tersebut.

Materi RUU PSDG sebenarnya sempat dimasukkan kedalam revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 (UU 5/1990) Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.  Namun revisi UU 5/1990 yang diinisiasi oleh DPR-RI ini pun mengalami hal yang sama dengan RUU PSDG. Jalan di tempat.

Tanpa adanya payung hukum yang kuat dalam pengelolaan sumber daya genetik, maka Protokol Nagoya sulit diterapkan dan aktifitas biopiracy akan terus terjadi. Akibatnya, masyarakat lokal tidak memperoleh manfaat dari komersialisasi bioprospecting, sementara Indonesia berpotensi kehilangan sumber daya genetik yang secara alami menjaga proses-proses ekosistem fundamental.

Sebagai negara megabiodiversity yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati tertinggi kedua di dunia, Indonesia memiliki kepentingan dengan perkembangan bioprospecting.  Ada dua langkah penting yang bisa dilakukan untuk memaksimalkan bioprospecting. Pertama, menjadi penyedia sumber daya genetik bagi penelitian bioprospecting yang dilakukan oleh negara maju seperti yang dilakukan oleh Costa Rica.  Sebagai penyedia sumber daya genetik, perlu dibangun kerangka hukum yang memadai agar Indonesia memperoleh manfaat optimal dari kerjasama bioprospecting.  Benefit yang diperoleh bisa berupa biaya perijinan, pembayaran per sampel, royalti dari hasil komersialisasi produk bioprospecting, alih teknologi, atau bentuk benefit lainnya.  Di Meksiko, perusahaan Novartis dari Swiss membayar antara US$ 1 – US$ 2 juta untuk setiap senyawa aktif (active compound) yang diperoleh.  Sementara di Brazil, perusahaan GlaxoSmith Kline asal Inggris membayar US$ 3,2 juta untuk pengumpulan 30.000 sampel genetik.

Kedua, menjadi negara yang mampu mengembangkan sendiri produk-produk berbasis sumber daya genetik melalui penguasaan sains dan teknologi. Saat ini Indonesia sudah memiliki banyak pakar genetik, namun teknologi mutakhir untuk mendukung kepakaran tersebut belum banyak tersedia.  Karena itu diperlukan sebuah blueprint jangka panjang untuk menegaskan posisi Indonesia dalam bioprospecting global. Kenya adalah salah satu negara berkembang yang telah memiliki roadmap bioprospecting, demikian juga Nepal yang telah membangun kapasitas lokal untuk pengembangan bioprospecting.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *