Hari Jumat (29/1) pekan lalu, ribuan warga Bali berunjuk rasa menolak rencana proyek reklamasi Teluk Benoa.
Ini merupakan demonstrasi yang kesekian kalinya dari warga bali sejak pemerintah mengambil kebijakan mendukung rencana investasi perusahaan swasta ‘merevitalisasi’ Teluk Benoa. Kebijakan pemerintah ini dituangkan melalui Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 (Perpres 51/2014) tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Serbagita) yang ditandatangai Presiden SBY tanggal 30 Mei 2014.
Perpres 51/2014 mengubah rencana peruntukan Teluk Benoa dari sebelumnya sebagai kawasan konservasi perairan di kawasan lindung-zona lindung menjadi kawasan budidaya-zona penyangga (Pasal 63A). Implikasinya, di Teluk Benoa dapat dilakukan kegiatan revitalisasi termasuk penyelenggaraan reklamasi (Pasal 101A).
Zona Penyangga?
Payung hukum Perpres 51/2014 adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 (UU 26/2007) tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 (PP 26/2008) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Dalam UU 26/2007 disebutkan bahwa penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi daya (Pasal 5). Tidak disebutkan terminologi zona penyangga dalam UU ini.
Dalam PP 26/2008, terminologi zona penyangga memang muncul, namun tidak ada pasal yang secara khusus mendefinisikan terminologi ini. Penggunaan zona penyangga dalam PP ini terdapat dalam dua konteks yang justeru berbeda dengan pengaturan pada Perpres 51/2014. Pertama, zona penyangga terdapat dalam pengaturan kawasan strategis nasional, yaitu zona budi daya dan/atau kawasan lindung ‘tidak terbangun’ yang memisahkan antara kawasan lindung dengan kawasan budi daya terbangun atau yang memisahkan antara kawasan strategis nasional dengan kawasan budi daya terbangun (Pasal 9). Kedua, zona penyangga terdapat dalam pengaturan taman nasional dan taman nasional laut, yaitu zona untuk kegiatan budidaya bagi penduduk asli di wilayah taman nasional dan taman nasional laut, namun dijaga agar tidak mengurangi fungsi lindung kawasan (Pasal 101). Dengan demikian, pemahaman zona penyangga dalam PP 26/2008 cenderung dalam rangka mendukung fungsi lindung ketimbang fungsi budi daya.
Tapi anehnya, Perpres 51/2014 menempatkan zona penyangga sebagai bagian dari kawasan budi daya (Pasal 56). Sebagai kawasan budi daya, maka di zona ini dapat dikembangkan sistem pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana, seperti jaringan transportasi, energi, telekomunikasi, sumber daya air, dan prasarana perkotaan (Pasal 120A). Hal ini tentu saja bertentangan dengan semangat PP 26/2008, sebagai payung hukumnya, yang mengarahkan zona penyangga sebagai kawasan ‘tidak terbangun’.
Perpektif Pembangunan Berkelanjutan
Kebijakan reklamasi Teluk Benoa mesti juga dilihat dari 3 perpektif pembangunan berkelanjutan, yaitu perspektif lingkungan, perspektif sosial, dan perpektif ekonomi. Dari perpektif lingkungan, reklamasi Teluk Benoa akan menyebabkan kerusakan lingkungan setidaknya di dua tempat, yaitu Teluk Benoa sebagai lokasi proyek reklamasi dan Lombok Timur sebagai lokasi penambangan pasir laut. Di kedua lokasi ini akan terjadi perubahan bentang laut yang berpotensi menyebabkan terjadinya bencana ekologi.
Dari perspektif sosial, proyek reklamasi Teluk Benoa bertentangan dengan aspirasi adat masyarakat Bali, terlihat dari pernyataan 15 desa adat yang menolak reklamasi Teluk Benoa. Penolakan ini merupakan hal yang wajar sebab masyarakat Bali dipandu oleh budaya Tri Hita Karana yang berarti bahwa pembangunan tidak boleh lepas dari hubungan antar manusia, manusia dan lingkungan, serta manusia dan Sang Pencipta.
Sementara dari perpektif ekonomi, pertanyaan besarnya adalah siapa yang paling diuntungkan dari proyek reklamasi ini? Secara common sense, para pemilik modal yang akan memperoleh keuntungan terbesar, sementara masyarakat di sekitar Teluk Benoa akan menjadi penonton di pinggir pantai. Selain itu, ketika terjadi bencana ekologi akibat proyek reklamasi, maka seluruh masyarakat Indonesia yang akan menanggung biaya ekonomi perbaikan lingkungan melalui pembayaran pajak.
Cabut Perpres
Untuk menghentikan kegaduhan proyek reklamasi Teluk Benoa maka solusi yang ditawarkan sederhana saja, Presiden Jokowi mencabut Perpres 51/2014. Ada beberapa alasan Presiden Jokowi mudah mencabut Perpres ini. Pertama, Perpres 51/2014 tidak ditandatangani oleh Jokowi melainkan oleh SBY, sehingga tidak ada beban politik bagi Jokowi untuk mencabutnya. Kedua, proyek reklamasi tidak sesuai dengan visi Presiden Jokowi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Jika Presiden Jokowi dapat menghentikan rencana pembangunan jembatan Selat Sunda, maka tentu tidak sulit untuk menghentikan proyek reklamasi Teluk Benoa. Ketiga, Bali merupakan lumbung suara bagi kemenangan pasangan Jokowi-JK pada Pilpres 2014 lalu. Pasangan ini memenangkan lebih dari 70% suara, sehingga penting bagi Presiden Jokowi untuk tetap memenangkan hati masyarakat Bali. Dan terakhir, sudah bukan jamannya proyek pembangunan hanya memihak kepada pemilik modal, meminggirkan masyarakat kecil, apalagi merusak lingkungan.
***
Dimuat di harian Kompas, edisi Rabu 13 April 2016