Penemuan mesin uap yang lebih efisien oleh James Watt tahun 1776 merupakan tonggak sejarah terjadinya industrialisasi modern. Industri tekstil yang awalnya menggunakan tangan manusia diganti dengan mesin tekstil bertenaga uap. Alat transportasi darat yang dulunya menggunakan hewan, diganti dengan kereta api yang menggunakan mesin uap. Demikian juga dengan kapal laut yang selama berabad-abad memanfaatkan energi angin, diganti dengan kapal bermesin uap. Dengan kata lain, disrupsi terjadi di hampir semua sektor kehidupan dengan penemuan mesin uap ini.
Sumber tenaga mesin uap temuan James Watt adalah batubara yang saat itu terkenal murah meriah. Dengan harga batubara yang murah, kegiatan industri dapat dilakukan dimana saja. Hal ini mendorong terjadinya proses industrialisasi secara besar-besaran, sehingga era ini dikenal dengan era revolusi industri. Penggunaan batubara pun meningkat tajam. Menurut MacKay (2009), produksi batu bara dari pertambangan di tahun 2006 tercatat mencapai 800 kali lipat dibandingkan dengan produksinya di tahun 1769.
Penemuan mesin uap menginspirasi penemuan penghantaran arus listrik yang lebih baik oleh Thomas Alfa Edison dengan arus searahnya (Direct Current, DC) dan Nikola Tesla dengan arus bolak-baliknya (Alternating Current, AC) pada tahun 1880an. Penemuan bola lampu pijar, juga oleh Thomas Alfa Edison, mendorong penggunaan energi listrik secara masif dimana sumber energi pembangkit listriknya banyak menggunakan batubara.
Di sisi lain, penemuan mesin uap (kategori pembakaran luar) mendorong penemuan mesin pembakaran dalam (internal combustion engines) yang lebih baik. Salah satu penemu mesin pembakaran dalam yang termasyur adalah Nikolaus August Otto yang menemukan mesin putaran empat tak atau putaran Otto pada tahun 1876.
Mesin pembakaran dalam digunakan untuk alat transportasi baru, seperti motor, mobil, dan pesawat terbang. Berbeda dengan mesin uap yang umumnya menggunakan batubara, mesin pembakaran dalam menggunakan bahan bakar minyak.
Teknologi yang semakin baik dan penerimaan pasar yang begitu tinggi terhadap alat transportasi baru ini dengan sendirinya meningkatkan permintaan terhadap bahan bakar minyak. Eksplorasi dan penambangan minyak bumi di berbagai belahan bumi pun tidak terelakkan.
Penambangan minyak bumi biasanya menghasilkan produk sampingan (by-product) berupa gas alam yang dianggap berbahaya dan menjadi masalah di lapangan minyak. Namun pada tahun 1821, William Hart berhasil melakukan penggalian sumur pertama yang secara khusus bertujuan untuk memperoleh gas alam di Fredonia, New York. Keberhasilan ini menjadikan William Hart dijuluki ‘Bapak Gas Alam’ dunia (NaturalGas, 2013).
Penggunaan gas alam awalnya hanya untuk penerangan rumah dan jalanan. Seiring dengan penemuan pembangkit listrik dan lampu pijar, penggunaan gas alam untuk penerangan mulai ditinggalkan. Dalam perkembangannya, gas alam banyak digunakan untuk pemanas rumah, pemanas air, memasak, pabrik dan industri pengolahan, boiler untuk menghasilkan listrik, dan berbagai keperluan lainnya.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa batubara, minyak bumi, dan gas alam sudah menjadi kebutuhan dasar bagi masyarakat modern di seluruh dunia. Selama bertahun-tahun semua aspek kehidupan menggunakannya, mulai dari bangun tidur di pagi hari hingga kembali tidur di malam hari. Bahkan sejak manusia modern lahir hingga masuk ke liang lahat memerlukan sumber energi ini.
Era Baru Energi Terbarukan
Batubara, minyak bumi, dan gas alam merupakan energi fosil yang terbentuk dari proses dekomposisi material organik selama jutaan tahun yang tertimbun di dalam lapisan kulit bumi.
Belakangan baru dipahami bahwa penggunaan energi fosil menghasilkan dampak yang cukup membahayakan bagi kehidupan itu sendiri. Dalam hal ini setiap pembakaran bahan bakar fosil melepaskan karbondioksida ke atmosfir yang menjebak pantulan sinar infra merah dari bumi ke luar angkasa.
Tingginya pemakaian energi fosil menyebabkan konsentrasi karbondioksida semakin banyak di atmosfir yang berarti semakin banyak sinar infra merah yang tidak dapat diteruskan ke luar angkasa. Kondisi ini menyebabkan planet bumi semakin panas, sehingga terjadi apa yang disebut dengan pemanasan global dan selanjutnya memicu perubahan iklim.
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) tahun 2021 melaporkan bahwa dalam 4 dekade terakhir, suhu bumi lebih hangat daripada dekade-dekade sebelumnya sejak tahun 1850. Suhu permukaan global dalam dua dekade pertama abad ke-21 (2001-2020) adalah 0,99 (0,84-1.10)°C lebih tinggi dari 1850-1900. Begitu juga dengan suhu permukaan global pada tahun 2011–2020 lebih tinggi 1,09 (0,95-1,20)°C dibandingkan tahun 1850–1900.
Karena itu diperlukan proses transisi dalam penggunaan energi, yaitu dari energi fosil yang tidak terbarukan (non renewable) menuju energi ramah lingkungan yang terbarukan (renewable energy), seperti energi yang bersumber dari air, angin, sinar matahari, panas bumi, dan biomassa. Energi terbarukan dikenal sebagai energi bersih (clean energy) karena minim emisi karbondioksida atau gas rumah kaca lainnya. Jenis energi terbarukan ini tersedia di alam secara melimpah, berkesinambungan, dan terdaur-ulang secara alami.
Proses transisi energi dari energi fosil menuju energi terbarukan mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam 10 tahun terakhir dimana 10 negara yang memiliki kapasitas terpasang energi terbarukan paling besar adalah China, Amerika, Jepang, Jerman, India, Italia, Australia, Vietnam, Korea, dan Spanyol (IRENA, 2021).
Sementara negara dengan porsi energi terbarukan terbesar di dunia adalah Islandia (79%), Norwegia (66%), Brazil (45%), New Zealand (35%), Austria (34%), Swiss (31%), Ekuador (30%), dan Kanada (28%).
Salah satu faktor penting yang mendorong terjadinya percepatan energi terbarukan adalah biaya investasi yang semakin murah. Menurut Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA), biaya energi terbarukan mengalami penurunan yang signifikan dalam 10 tahun terakhir (tahun 2010-2019) dimana biaya tenaga surya skala utilitas fotovoltaik (PV) turun sebesar 82%, biaya pemusatan tenaga surya (CSP) turun 47%, biaya tenaga angin di darat turun 39%, dan biaya tenaga angin lepas pantai turun sebesar 29%.
Faktor lain yang mendorong terjadinya transisi ke energi terbarukan adalah komitmen global untuk mengurangi emisi karbon dioksida melalui Paris Agreement. Perjanjian internasional ini mentargetkan kenaikan suhu global tidak melampaui 20 C pada tahun 2050 dibandingkan dengan suhu rata-rata pada era pra-industri.
Berdasarkan Paris Agrrement tersebut, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri (unconditional) dan 41% dengan bantuan internasional (conditional). Dari sektor energi, target bauran energi dari energi terbarukan Indonesia sebesar 23% pada tahun 2025 dan 31% tahun 2050.
Target bauran energi yang ditetapkan berdasarkan potensi enegi terbarukan Indonesia yang cukup besar, yaitu mencapai 417,8 gigawatt (GW). Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi tersebut berasal dari energi matahari atau surya sebesat 207,8 GW, energi air 75 GW, energi angin 60,6 GW, bioenergi 32,6 GW, panas bumi 23,9 GW, dan arus laut samudera sebesar 17.9 GW.
Pertanyaannya, apa hubungannya energi terbarukan dengan keanekaragaman hayati? Penggunaan energi terbarukan akan mengurangi emisi karbondioksida yang menyebabkan terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Dengan berkurangnya pemanasan global dan semakin stabilnya kondisi iklim, maka tingkat kepunahan spesies akan semakin berkurang. Hal ini disampaikan oleh IPBES (The Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services) tahun 2019 bahwa perubahan iklim merupakan salah satu penyebab langsung kepunahan spesies di muka bumi.
Selain itu, salah satu sumber energi terbarukan adalah bioenergi yang potensinya di Indonesia, seperti disebutkan sebelumnya, sebesar 32,6 GW. Sementara bioenergi bersumber dari keanekaragaman hayati.
Jadi, energi terbarukan memiliki hubungan erat dengan keanekaragaman hayati.