Wisatawan dari mancanegara jauh-jauh datang ke Raja Ampat untuk menyelam dan menikmati keindahan pemandangan bawah laut. Tepatnya menikmati keindahan terumbu karang. Para wisatawan ini membaca jurnal ilmiah dan majalah internasional yang mengungkapkan bahwa tingkat keanekaragaman karang Raja Ampat adalah yang tertinggi di dunia. Bagi para wisatawan penyelam, keanekaragaman karang yang tinggi berarti menawarkan keindahan alam yang spektakuler.
Raja Ampat adalah salah satu contoh kawasan yang terkenal sebagai destinasi ekowisata laut karena peran publikasi ilmiah dan publikasi lainnya. Ada juga Wakatobi yang terkenal karena Pemerintah Daerah begitu aktif mempromosikan destinasi ekowisata lautnya melalui kegiatan MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition). Berbagai seminar, lokakarya, dan pameran diselenggarakan di Wakatobi, baik level lokal, nasional, maupun internasional. Sebagai side event, para peserta diperkenalkan dengan keindahan alam bawah laut Wakatobi.
Coral Triangle Initiative
Berbagai artikel dan seminar internasional menyimpulkan adanya kawasan segitiga karang dunia atau yang dikenal dengan Coral Triangle. Kawasan segitiga ini merupakan kawasan dengan keragaman karang tertinggidi dunia yang mecakup 6 negara, yaitu Indonesia, Filipina, Malaysia, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste. Raja Ampat sendiri sering disebut sebagai jantungnya kawasan Coral Triangle.
Keberadaan segitiga karang dunia menjadikan Indonesia sebagai negara megabiodiversity dengan tingkat keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Bowen dkk (2013) menawarkan 3 model untuk menjelaskan kekayaan biodiversitas segitiga karang, yaitu pusat spesiasi, pusat akumulasi, dan pusat tumpang tindih. Model pusat spesiasi mengusung teori bahwa pusat biodiversitas tropis adalah pengekspor spesies, yang kemungkinan besar diakibatkan oleh berbagai peristiwa geologis yang kompleks dan heterogenitas habitat, berkelindan dengan persaingan hidup yang sengit.
Berbeda dengan model pusat spesiasi, model pusat akumulasi menyatakan bahwa tingginya jumlah spesies di kawasan segitiga karang merupakan hasil spesiasi dari lokasi-lokasi sekelilingnya dengan persebaran takson baru lanjutan yang berkumpul di kawasan segitiga karang.
Sementara itu, model pusat tumpang tindih menjelaskan bahwa kekayaan biodiversitas segitiga karang sebagian karena bertemunya fauna-fauna khas dari Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
Berdasarkan hasil kajian ilmiah, dan didukung oleh beberapa NGO, maka pemerintah di 6 negara coral triangle bersepakat untuk membangun kerjasama multilateral yang disebut dengan Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF). Inisiatif ini dideklarasikan pada tahun 2009 dimana Indonesia menjadi Ketua pada periode pertama. CTI-CFF sendiri berkantor pusat di Manado, tepatnya di Gedung CTI.
Di Indonesia, beberapa kawasan yang dikenal sebagai kawasan segitiga karang diantaranya adalah Raja Ampat, Teluk Cendrawasih, Bunaken, Wakatobi, Derawan, Nusa Penida, Komodo, dan Gili Matra (Meno, Ayer, dan Trawangan). Kawasan-kawasan ini merupakan kawasan konservasi (Marine Protected Area, MPA) yang juga berperan sebagai destinasi wisata bahari paling populer.
MPA di Indonesia memang bersifat multi fungsi, bukan saja sebagai kawasan perlindungan, tapi juga kawasan ekowisata laut dan secara terbatas untuk perikanan. Disebut secara terbatas karena dalam konteks pengelolaan perikanan, MPA dirancang untuk melindungi indukan ikan, telur ikan, dan anak-anak ikan. Saat ikan-ikan ini sudah besar, mereka akan keluar dari zona inti dan selanjutnya ditangkap oleh nelayan. Konsep ini seperti deposito di dunia perbankan dimana nasabah hanya boleh mengambil hasil investasi (bunga), sementara modal pokoknya tetap berada di bank.
Terumbu karang adalah rumah bagi berbagai jenis ikan, termasuk beberapa spesies flagship seperti penyu, hiu paus, pari manta, dan dugong. Salah satu kawasan terumbu karang yang terkenal memiliki keragaman ikan paling tinggi ada di Kaimana, Papua Barat. Para ilmuwan menjuluki kawasan ini sebagai ‘kingdom of fishes’ di Indonesia.
Beberapa jenis ikan karang merupakan komoditas perikanan komersial bernilai tinggi, seperti ikan kerapu, kakap, lobster, baronang, kuwe, dan lain-lain. Permintaan pasar terhadap ikan-ikan karang cukup tinggi, sehingga harga jualnya juga ikut tinggi. Beberapa hotel dan restoran kelas atas bahkan menjadikan menu ikan karang sebagai sajian mewah.
Kondisi ini memicu banyak nelayan mengambil jalan pintas dalam menangkap ikan karang, yaitu melalui penangkapan ikan yang merusak lingkungan (destructive fishing practices) dengan menggunakan bom dan bius ikan. Praktek merusak ini menyebabkan terumbu karang mengalami kerusakan hebat, sekaligus mematikan anak-anak ikan. Jika praktek ini terus dilakukan, maka dalam waktu singkat suplai ikan-ikan karang akan terhenti.
Pauly (1994) menggunakan teori Malthusian overfishing untuk menunjukan keterkaitan antara kemiskinan dengan overfishing dan destructive fishing practices. Menurutnya, perikanan skala kecil di negara berkembang tropis umumnya miskin dan kurang alternatif pekerjaan lain, sehingga ketika mereka mulai menangkap ikan akan sulit berhenti meskipun sumberdaya ikan menurun dengan cepat sepanjang waktu. Jumlah nelayan biasanya juga meningkat, baik karena tambahan anggota keluarga yang menjadi nelayan maupun nelayan baru yang berasal dari sektor lain. Dengan kondisi ini nelayan terpaksa melakukan penangkapan ikan yang merusak sebagai upaya untuk mempertahankan pendapatan.
Menurut Pet-Soede dan Erdmann (1998), target spesies pemboman ikan pada umumnya adalah ikan karang yang bergerombol (schooling reef fishes) seperti ikan ekor kuning (fusiliers), ikan botana (surgeonfish), ikan baronang (rabbitfish), dan kakap (snapper), serta ikan pelagis kecil seperti scad and sardines. Sementara target pembiusan ikan dengan sianida adalah ikan hias, kerapu, napoleon, dan lobster.
Selain praktek penangkapan ikan yang merusak, ancaman utama terumbu karang adalah pemanasan global. Kenaikan suhu air laut akan menyebabkan zooxanthella (tumbuhan mikroskopis pensuplai makanan dan oksigen bagi karang) pergi meninggalkan karang. Perginya zooxanthella dari karang mengakibatkan terjadinya pemutihan karang (bleaching) yang pada gilirannya berdampak pada kematian karang. Salah satu terumbu karang terbesar di dunia, Great Barrier Reef (Australia), dewasa ini sedang mengalami pemutihan karang secara masif akibat kenaikan suhu perairan laut.
Peristiwa bleaching dilaporkan terjadi di beberapa terumbu karang Indonesia, namun tidak sebesar yang terjadi di Great Barrier Reefs. Di kawasan Bentang Laut Kepala Burung Papua, misalnya, Pakiding dkk (2020) melaporkan bahwa kondisi terumbu karang di kawasan ini lebih baik dibandingkan dengan banyak ekosistem terumbu karang global. Beberapa gangguan karang yang muncul dalam persentase yang kecil (<1%) adalah penyakit karang, pemutihan karang, sedimentasi, dominasi alga di beberapa titik, dan kemunculan bintang laut pemakan karang atau COTs – Crown of Thorn Starfish (Acanthaster plancii).
Bentang Laut Kepala Burung (Bird’s Head Seascape, BHS) merupakan episentrum global perairan dangkal tropis yang memiliki keanekaragaman hayati laut dengan lebih dari 600 spesies karang dan 1.638 spesies ikan karang (Mangubhai, 2012). Kawasan seluas 22,5 juta hektar ini membentang dari Teluk Cendrawasih, Tambraw, Manokwari, Raja Ampat, Sorong, Fak-fak, hingga Kaimana.
Sebagai episentrum global keanekaragaman hayati laut dunia, lebih dari 10 MPA telah terbentuk di bentang laut ini. Pengelola MPA ini terdiri dari 3 entitas pemerintah, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Pemerintah Provinsi Papua Barat.
Dalam rangka mendukung peningkatan efektifitas pengelolaan MPA di kawasan ini, konsorsium LSM (CI, TNC, dan WWF) membentuk Blue Abadi Fund (BAF) yang beroperasi sejak tahun 2017. BAF merupakan trust fund yang mengelola endowment fund (dana abadi) dan sinking fund dimana Yayasan KEHATI berperan sebagai administrator.
Sebagai trust fund, BAF memberikan dana hibah kepada pengelola MPA yang sudah menerapkan sistem keuangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), organisasi masyarakat sipil Papua, dan universitas lokal.
Salah satu penerima dana hibah BAF adalah Universitas Papua (UNIPA) yang melakukan kajian ekologi dan sosial ekonomi. Hasil kajian UNIPA menunjukan bahwa efektifitas pengelolaan MPA di Bentang Laut Kepala Burung mengalami peningkatan, baik dengan menggunakan alat World Bank Score Card maupun E-KKP3K (sekarang menjadi EVIKA) yang dikembangkan oleh KKP. Peningkatan efektifitas pengelolaan MPA ini juga ditunjukkan dengan membaiknya kondisi kesehatan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat pesisir.