Dalam mitologi masyarakat Jawa, dikenal kisah Dewi Sri yang dari jenasahnya keluar padi, aren, kelapa, buah-buahan, talas, dan umbi-umbian. Demikian juga dalam mitologi masyarakat Flores dikenal cerita tentang Tonu Wujo, kisah seorang perempuan yang dari jasadnya menghasilkan sorgum, padi, jagung, jewawut, labu, mentimun, dan umbi-umbian.
Kedua contoh mitologi ini menunjukan bahwa setiap daerah memiliki keragaman sumber pangan dari peninggalan leluhur. Keragaman budaya pangan ini berkait erat dengan kondisi alam yang menjadi sumber kehidupan masyarakatnya. Karena itu, selain konsumsi nasi, masyarakat tradisional di berbagai daerah memiliki makanan pokok lain, seperti sorgum, sagu, singkong, ubi, pisang, jagung, dan sebagainya.
Namun sayangnya, politik perberasan sejak jaman orde baru menjadikan beras sebagai sumber pangan utama bagi semua masyarakat Indonesia, tanpa menghiraukan keragaman yang ada.
Akibat dari kebijakan ini, masyarakat yang dulunya mengkonsumi sorgum, misalnya, terpaksa harus makan nasi meskipun padi sulit tumbuh di lahan pertanian mereka. Masyarakat yang tidak makan nasi mendapat stigma sebagai masyarakat miskin. Demikian juga dengan petani yang menanam sorgum mendapat julukan petani miskin. Akibatnya, masyarakat menjadi malu kalau tidak makan beras atau menanam padi.
Proses berasisasi ini berlangsung cukup massif dalam rentang waktu yang cukup lama, sehingga terbentuk pola konsumsi nasi yang berlebihan. Dengan kata lain, terjadi ketergantungan masyarakat yang cukup tinggi terhadap pangan pokok nasi.
Masalahnya, lahan kering tidak terlalu cocok untuk ditanami padi. Kalau dipaksakan, budidaya padi di lahan kering membutuhkan biaya input yang cukup besar, seperti pengadaan bibit padi khusus, pupuk, pestisida, dan sebagainya. Konsekuensinya, keuntungan petani padi di lahan kering menjadi sangat minim.
Para petani padi di Flores Timur menyampaikan bahwa mereka sering mengalami gagal panen. Bahkan lebih parah lagi, mengalami gagal tanam. Dengan kondisi ini, suplai pangan bagi masyarakat diperoleh dari pembagian beras raskin (beras untuk keluarga miskin) yang didatangkan dari luar daerah.
Karena itu revitalisasi pangan lokal sorgum, baik dari sisi konsumsi maupun produksi (budidaya), menjadi vital untuk dilakukan. Tidak mudah, tapi bisa dilakukan.
Yayasan KEHATI dan Yaspensel (Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka) telah membuktikan bahwa upaya revitalisasi pangan lokal sorgum bisa dilakukan di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Tentu saja melalui kolaborasi dengan para pihak lainnya, seperti Kementerian Pertanian, Pemerintah Daerah, Keuskupan Larantuka, dan Perhimpunan Petani Sorgum Untuk Kedaulatan Pangan (P2SKP) NTT.
Tokoh penggerak gerakan revitalisasi sorgum di Flores (local champion) adalah Maria Loretha atau Mama Loretha yang dikenal juga dengan julukan Mama Sorgum. Mama Loretha memulai budidaya sorgum di Pulau Adonara bersama Kelompok Tani Kenari Jaya yang beranggotan tujuh orang. Pulau Adonara sendiri adalah pulau kecil yang terletak di sebelah timur Pulau Flores.
Dalam perkembangannya, Mama Loretha bergabung dengan Yaspensel yang merupakan organisasi dibawah Keuskupan Larantuka dengan tugas utama mengembangan tanaman sorgum. Sebelumnya, tahun 2012, Mama Loretha menerima penghargaan KEHATI Award sebagai pelestari sumber pangan lokal sorgum.
KEHATI kemudian memberi dukungan penuh kepada Yaspensel untuk mengembangkan pangan lokal sorgum, bukan hanya di Flores Timur, tapi di seluruh Pulau Flores dan pulau-pulau sekitarnya.
Lahan sorgum yang pada awalnya hanya seluas 2 hektar tahun 2013, terus berkembang hingga mencapai lebih dari 200 hektar pada tahun 2019. Para petani sudah percaya diri melakukan budidaya sorgum. Kalau dulu petani sorgum di Flores dijuluki petani miskin, kini para petani dengan bangga menolak pembagian beras raskin. Tak ada lagi julukan petani miskin bagi petani sorgum.
Para petani juga membuat kesepakatan bahwa 60% hasil panen untuk dikonsumsi sendiri dan hanya 40% yang boleh dijual keluar. Kesepakatan ini merupakan cara agar masyarakat kembali mengkonsumsi sorgum sebagai pangan lokal bergizi tinggi.
Masyarakat pun mulai merasakan manfaat dari sorgum dari aspek kesehatan. Yosep Sedu Wulon (52), Kepala Sekolah SD Waek Libang, menceritakan bahwa pada bulan Desember 2016 dia divonis menderita diabetes dengan kadar gula mencapai 315. Dia bahkan sempat diopname di Puskesmas Desa dan Rumah Sakit Larantuka. Dengan kondisi ini, Yosep mulai rutin mengonsumsi sorgum yang dibeli dari para petani dan mengurangi konsumsi nasi.
“Sampai sekarang masih minum. Ternyata sehat dan sembuh. Gula sudah turun, terakhir bulan lalu 140,” kata dia. Testimoni ini terekam dengan baik oleh Ahmad Arif dalam bukunya berjudul ‘Sorgum, Benih Leluhur untuk Masa Depan’ yang terbit tahun 2020.
Circular Economy Sorgum
Sorgum termasuk kelas Monocotyledoneae (tumbuhan biji berkeping satu) dan famili Poaceae (Gramineae), sehingga sekeluarga dengan tanaman serealia seperti padi, jagung, hanjeli, dan gandum. Sorgum juga sekeluarga dengan tanaman jenis rerumputan lain seperti bambu dan tebu. Genus sorgum terdiri dari setidaknya 30 spesies, namun yang paling banyak dibudidayakan adalah spesies Sorghum bicolor.
Tanaman sorgum (Sorghum bicolor) bisa tumbuh dengan baik di lahan kering karena sistem perakaran yang kuat dan dalam membuatnya mampu menyerap air lebih baik. Selain itu, permukaan daun yang mengandung lapisan lilin membuat tanaman sorgum efisien dalam menjaga penguapan. Dibandingkan dengan padi, misalnya, kebutuhan air untuk sorgum adalah 1/8 dari jumlah air yang dibutuhkan padi.
Sorgum mengandung nutrisi yang cukup lengkap, seperti karbohidrat, protein, kaya serat dan antioksidan, tidak mengandung gluten, dan indeks glikemik rendah sehingga cocok dikonsumsi penderita diabetes. Sorgum juga memiliki sejumlah nutrisi mikro lain yang dibutuhkan tubuh, seperti kalium, besi, fosfor, serta vitamin B. Selain itu, kandungan tanin pada sorgum bisa dimanfaatkan untuk mengurangi penyerapan makanan sehingga cocok mengatasi masalah kegemukan.
Dengan kandungan nutrisi tersebut, beberapa kalangan menjuluki sorgum sebagai the super food. Karena itu beberapa perusahaan sudah membuat produk-produk olahan berbahan sorgum, mulai dari beras sorgum, tepung sorgum, gula sorgum, sirup sorgum, nektar sorgum, hingga kecap sorgum.
Sorgum biasanya ditanam pada awal musim hujan. Pemeliharaan selanjutnya lebih banyak diserahkan ke alam karena budidaya sorgum tidak memerlukan input tambahan, seperti pupuk, pestisida, insektisida, dan semacamnya. Dengan demikian, pertanian sorgum dapat dikategorikan sebagai pertanian organik.
Dalam sekali musim tanam, sorgum bisa dipanen sebanyak dua atau tiga kali. Ini merupakan keistimewaan lain dari sorgum karena bisa tumbuh kembali setelah di panen. Komunitas pertanian menyebutnya ratun (ratoon).
Ketika panen, tidak ada bagian dari tanaman sorgum yang dibuang percuma. Semua dapat dimanfaatkan. Biji sorgum menjadi konsumsi masyarakat, limbah sorgum dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, sementara batang sorgum mengandung nira yang dapat digunakan sebagai bahan baku gula dan bioethanol.
Ini merupakan contoh sempurna dari konsep circular economy.