Presiden SBY belum lama ini menyetujui usulan Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, agar Pertamina memberikan BBM bersubsidi kepada nelayan untuk meringankan beban nelayan akibat kenaikan harga BBM.

Usulan ini nampaknya berdasarkan laporan berbagai media massa bahwa banyak nelayan yang tidak bisa melaut akibat harga BBM yang meroket dan sulitnya mendapatkan BBM untuk operational kapal penangkap ikan.  Jadi, dengan kebijakan subsidi ini diharapkan nelayan bisa kembali melaut.

Sebaliknya, dalam waktu yang hampir bersamaan, pemerintah Federal Australia, melalui Menteri Perikanan Ian MacDonald,  justeru mengeluarkan kebijakan restrukturisasi industry perikanan yang memberikan insentif kepada nelayan untuk ‘berhenti’ melaut.  Total biaya yang dibutuhkan untuk paket kebijakan perikanan ini sebesar 220 juta dollar Australia yang dialokasikan untuk membeli kembali (buy back) izin penangkapan ikan dan bantuan hibah untuk para nelayan yang pensiun dini dan masyarakat lainnya yang terkena dampak  kebijakan ini.  Target dari kebijakan ini adalah mengurangi setengah dari total kapal penangkap ikan yang saat ini memegang izin penangkapan ikan.  Pemerintah Australia telah mengeluarkan 1200 izin penangkapan ikan, sehingga diharapakan dengan kebijakan perikanan ini total kapal penangkap ikan yang beroperasi di perairan laut Australia tinggal 600 kapal.

Dasar pemikiran dari kebijakan ini adalah tingginya tekanan terhadap stok ikan di perairan laut Australia, yang menurut berbagai riset menunjukan telah mengalami overfishing.  The Bureau of Rural Resources, misalnya, melaporkan bahwa 8 dari 15 perikanan tangkap Australia telah tereksploitasi melampaui batas sustainable.  Lalu, apakah tidak ada masalah overfishing di perairan laut Indonesia, sehingga pemerintah Indonesia mesti mengeluarkan kebijakan yang mendorong orang untuk menangkap ikan di laut?  Sudah banyak penelitian yang menunjukan bahwa stok ikan di perairan laut Indonesia telah overexploited, setidaknya Dr Lida Pet-Soede (Senior Manager Program Kelautan WWF) mencatat 56 studi pengkajian stok ikan di Indonesia menyimpulkan bahwa sumberdaya ikan  telah melampaui batas eksploitasi.

Masalah overfishing di Indonesia diperparah dengan kenyataan bahwa para nelayan Indonesia lebih senang menjual langsung ikan hasil tangkapan kepada pihak asing di tengah laut ketimbang menjualnya di daratan tempat penjualan/pelelangan ikan.  Demikian pula dengan masih berlangsungnya kegiatan penangkapan ikan dengan cara-cara yang merusak lingkungan laut (destructive fishing practices) dan maraknya kasus penangkapan ikan ilegal (illegal fishing) oleh pihak asing di perairan laut Indonesia.  Uniknya, ketika Indonesia sedang gencar menghalau nelayan asing yang menangkap ikan di perairan Indonesia, Australia justeru gusar dengan banyaknya kapal nelayan Indonesia yang menangkap ikan di perairan laut Australia.

Kebijakan subsidi terhadap industri penangkapan ikan sebenarnya bukanlah hal yang disarankan dari perspektif ekonomi, karena pada dasarnya perikanan laut merupakan common-property atau sumberdaya milik bersama. Karakteristik dari common-property adalah orang bisa mengeksploitasi sumberdaya perikanan laut tanpa bisa merintangi orang lain untuk melakukan hal yang sama.  Implikasi dari karakteristik ini adalah orang akan menangkap ikan sebanyak-sebanyaknya dan secepat-cepatnya, sebelum orang lain melakukannya.  Kondisi ini akan mengakibatkan semakin banyak kapal penangkap ikan yang beroperasi di lautan. Jadi, tanpa subsidipun sebenarnya perairan laut telah mengarah ke overfishing.  The International Centre for Living Aquatic Resources (ICLARM) melaporkan bahwa 9 dari 17 lokasi utama penangkapan ikan dunia mengalami kemerosotan stok ikan yang serius, termasuk di antaranya perairan laut Indonesia (Asia Tenggara).

Karena itu subsidi ke industri penangkapan ikan akan memberikan tekanan yang jauh lebih berat terhadap stok ikan yang pada gilirannya akan membangkrutkan industri perikanan nasional itu sendiri.  Contoh klasik ambruknya industri perikanan akibat   kebijakan subsidi yang salah kaprah  adalah subsidi yang diberikan pemerintah Kanada untuk mengeksploitasi sumberdaya perikanan di samudera Atlantik.  Tujuan utama dari paket kebijakan ini adalah meningkatkan angkatan tenaga kerja sektor perikanan.  Akan tetapi, efeknya adalah masyarakat berbondong-bondong terjun ke industri penangkapan ikan dan kapal penangkap ikan yang beroperasi di samudera Atlantik meningkat drastis.  Karena terlalu banyak ikan yang ditangkap dan melampaui level eksploitasi, maka yang terjadi kemudian adalah too many  boats chasing too few fish.   Pada akhirnya perikanan atlantik mengalami kebangkrutan dan pemerintah mesti menanggulanginya dengan mengeluarkan kebijakan ‘adjustment programs’ dengan total biaya 3 milyar dollar Kanada.

Kekuatiran terhadap habisnya stok ikan dan bangkrutnya industri perikanan inilah yang mendorong pemerintah Australia melakukan kontrol terhadap jumlah tangkapan ikan melalui pembatasan jumlah kapal penangkapan ikan.  Dengan kebijakan ini, pemerintah Australia selain berusaha menjamin ketersediaan stok ikan pada level yang memadai, juga dalam rangka meningkatkan profit industri perikanan secara keseluruhan.

Dalam manajemen penangkapan ikan, Pemerintah Australia memang menggunakan pendekatan Maximum Economic Yield (MEY) yaitu total tangkapan ikan mesti bisa menjamin profit industri perikanan pada kondisi maksimum.  Dengan kata lain, memaksimalkan profit bagi industri perikanan mesti menjadi tujuan utama dalam kebijakan pengelolaan perikanan tangkap, sebab jika industri perikanan mengalami profit yang rendah atau bahkan rugi, maka yang terjadi adalah governemnt failure.  Menempatkan MEY sebagai obyektif utama penangkapan ikan berimplikasi pada upaya meningkatkan pendapatan nelayan (meningkatkan profit industri perikanan) dan mengurangi biaya yang digunakan dalam proses penangkapan ikan.  Hal tersebut bisa dicapai dengan menjamin kelimpahan stok ikan di perairan laut dan mengurangi jumlah kapal penangkap ikan.

Indonesia sendiri menggunakan pendekatan Maximum Sustaiable Yield (MSY) dalam manajemen penangkapan ikan.  Pendekatan ini menetapkan target tangkapan maksimal pada level dimana pertumbuhan ikan berada pada titik puncak, sehingga jumlah ikan yang ditangkap tetap akan mendukung kelestarian pertumbuhan ikan.  Jika total tangkapan berada di bawah level MSY menunjukan bahwa potensi perikanan tangkap belum digarap secara maksimal.  Akan tetapi bila total tangkapan ikan berada di atas level MSY maka perikanan nasional berada pada kondisi overfishing.  Berbeda dengan MEY, pendekatan MSY sama sekali tidak mempertimbangkan faktor profitability dari industri perikanan.  Selain itu, stok ikan yang mesti dibiarkan hidup di perairan laut jauh lebih besar jika menggunakan sistem MEY ketimbang MSY.  Dengan kata lain, pendekatan MEY jauh lebih ‘konservatif’ ketimbang pendekatan MSY.

Karena itu sudah saatnya pemerintah Indonesia melakukan rethinking terhadap manajemen perikanan tangkap, setidaknya mempertimbangkan pendekatan MEY daripada mempertahankan MSY.  Selanjutnya jika memang pemerintah mempunyai komitmen yang kuat dalam membantu meningkatkan kesejahteraan nelayan, maka subsidi yang diberikan selayaknya tidak berdampak pada semakin parahnya kondisi overfishing.  Dengan kata lain, subsidi sebaiknya dialihkan dari penangkapan ikan ke budidaya perikanan, sebab kegiatan budidaya laut tidak berdampak pada menurunnya stok ikan.  Bahkan budidaya laut merupakan praktek koservasi yang sekaligus bernilai profit.  Dari perspektif ekonomi, budidaya laut merupakan bentuk private property yang menjadi solusi atas masalah-masalah yang ditimbulkan oleh common property.

Saat ini adalah momentum yang tepat bagi pemerintah untuk melakukan rethinking terhadap manajemen penangkapan ikan nasional, setidaknya jika laporan berbagai media massa akurat bahwa banyak nelayan yang berhenti melaut akibat tingginya harga BBM.

*****

Dimuat di majalah Samudra edisi Maret 2004

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *